loading...
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah
tepat pada waktunya yang berjudul “Kekurangan Energi Protein” Harapan kami
semoga Makalah ini dapat terlaksana kan dengan baik guna dapat meningkatkan
pengetahuan ibu mengenai status gizi balita.
Makalah ini kami akui
masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh
kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan
yang bersifat membangun untuk kesempurnaan Makalah ini.
Akhir kata, kami
sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.
Makassar,
15 Mei 2014
Kelompok 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI
2
BAB I PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang 3
b.
Rumusan Masalah 6
c.
Tujuan Penulisan 6
BAB II PEMBAHASAN
a.
Pengertian Kekurangan Energi
Protein 7
b.
Etiologi Kekurangan Energi Protein 10
c.
Penyebab Kekurangan Energi Protein 14
d.
Jenis-jenis Kekurangan Energi
Protein 17
e.
Klasifikasi Kurang Energi Protein 20
f.
Gejala Klinis Balita Kep 23
g.
Faktor – faktor Yang Mempengaruhi KEP 26
h.
Ambang Batas
Masalah Gizi 30
i.
Program
Penangulangan KEP 33
BAB III PENUTUP
a.
Kesimpulan 39
b.
Saran 40
DAFTAR PUSTAKA 41
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kekurangan Energi Protein (KEP) akan terjadi manakala
kebutuhan tubuh akan kalori, protein atau keduanya, tidak tercukupi dengan
diet. Kedua bentuk defisiensi ini tidak jarang berjalan bersisian, meskipun
salah satu lebih dominan ketimbang yang lain. Sindrom kwashiorkor terjelma manakala
defisiensi lebih menampakkan dominasi protein, dan marasmus termanifestasi jika
terjadi kekurangan energy yang parah. Kombinasi kedua bentuk ini,
marasmik-kwasiorkor, juga tidak sedikit, meskipun sulit menentukan kekurangan
apa yang lebih dominan.
Kekurangan energi protein dikelompokkan menjadi KEP
primer dan sekunde. Ketiadaan panganmelatarbelakangi KEP primer yang
mengakibatkan berkurangnya asupan. Penyakit yang mengakibatkan pengurangan
asupan, gangguan serapan dan utilisasi pangan, serta peningkatan kebutuhan
(dan/atau kehilangan) akan zat gizi dikategorikan sebagai KEP sekunder.
Keparahan KEP berkisar dari hanya penyusutan berat badan,
atau terlambat tumbuh, sampai ke sindrom klinis yang nyata, dan tidak jarang
berkaitan dengan defisiensi vitamin, serta mineral.
Setidaknya, ada 4 faktor yang melatarbelakangi KEP, yaitu
: masalah sosial, ekonomi, biologi, dan lingkungan. Kemiskinan, salah satu
determinan social-ekonomi, merupakan akar dari ketiadaan pangan, tempat mukim
yang berjejalan, kumuh dan tidak sehat serta ketidakmampuan mengakses fasilitas
kesehatan. Ketidaktahuan, baik yang berdiri sendiri maupun yang berkaitan
dengan kemiskinan, menimbulkan salah paham tentang cara merawat bayi dan anak
yang benar, juga salah mengerti mengenai penggunaan bahan pangan tertentu dan
cara member makan anggota keluarga yang sedang sakit. Hal lain yang juga
berpotensi menumbuhsuburkan KEP dikalangan bayi dan anak adalah penurunan minat
dalam member ASI yang kemudian diperparah pula dengan salah persepsi tentang cara
menyapih. Selain, distribusi pangan dalam keluarga terkesan masih timpang.
Tempat tingggal yang berjejalan dan tidak bersih
menyebabkan infeksi sering terjadi. Prosedur penyimpanan hasil produksi pasca
panen yang buruk mengakibatkan bahan pangan cepat rusak. Bencana alam, perang,
atau migrasi paksa telah terbukti mengganggu distribusi pangan.
Penyalahgunaan ana, ketidakberdayaan kaum ibu,
penelantaran lansia, kecanduaan alcohol dan obat, pada akhirnya berujung pula
sebagai KEP. Selain itu, budaya yang menabukan makanan tertentu (terutama
terhadap balita dan serta ibu hamil dan menyusui) dan mengonsumsi bahan bukan
pangan akan memicu sekaligus melestarikan KEP.
Komponen biologi yang menjadi latar belakang KEP, antara
lain, malnutrisi ibu, baik sebelum maupun selama hamil, penyakit infeksi, serta
diet rendah energy dan protein. Seorang ibu yang mengalami KEP selama kurun waktu tersebut pada gilirannya
akan melahirkan bayi berberat badan rendah. Tanpa ketersediaan pangan yang
cukup, bayi KEP tersebut tidak akan mampu mengejar ketertinggalannya, baik
kekurangan berat semasa dalam kandungan maupun setelah lahir.
Penykit infeksi berpotensisebagai penyokong atau
pembangkit KEP. Penyakit diare, campak, dan infeksi saluran napas kerap
menghilangkan napsu makan. Penyakit saluran pencernaan yang sebagian muncul
dalam bentuk muntahdan gangguan penyerapan, menyebabkan kehilangan zat-zat gizi
dalam jumlah besar. Percepatan proses katabolisme meningkatkan kebutuhan
sekaligus menambah kehilangan zat-zat gizi.
Kekurangan Energi Protein sesungguhnya berpelung
menyerang siapa saja terutama bayi dan anak yang tengah bertumbuh-kembang.
Marasmus sering menjangkiti bayi yang baru berusia kurang dari 1 tahun,
sementara kwashiorkor cenderung menyerang setelah mereka berusia 18 bulan. Jika
dialami oleh anak yang berumur lebih tua, kondisi tersebut biasanya ringan
karena mereka pada umumnya telah pandai “ mencari makan” sendiri. Remaja,
dewasa muda (utamanya pria), wanita tidak hamil dan tidak menyusui, memiliki
angka prevalensi paling rendah.
B.
Rumusan Masalah
a. Pengertian KEP
b. Bagaimana klasifikasi kurang energi protein
c. Bagaimana gejala kekurangan protein
d. Faktor apa yang mempengaruhi kekurangan energi protein
e. Bagaimana upaya penanggulangannya
C.
Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian dari KEP
b. Untuk mengetahui klasifikasi dari KEP
c. Untuk mengetahui gejala apa yang ditimbulkan dari KEP
d. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi KEP
e. Untuk mengetahui upaya dalam menanggulangi KEP
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kurang Energi Protein (KEP)
Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang
gizi yang disebabkan oleh rendahnya komsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari atau gangguan penyakit –penyakit
tertentu. Anak tersebut kurang energi protein (KEP) apabila berat badanya
kurang dari 80 % indek berat badan/umur baku standar,WHO –NCHS, (DEPKES
RI,1997).
Kurang energi
protein (KEP) yaitu seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya
konsumsi energi protein dalam makan sehari-hari dan atau gangguan penyakit
tertentu sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG). Kurang energy
protein merupakan keadaan kuang gizi yang disebakan oleh rendahnya konsumsi
energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka
kecukupan gizi (Depkes 1999). KEP itu sendiri dapat digolongkan menjadi KEP
tanpa gejala klinis dan KEP dengan gejala klinis. Secara garis besar tanda
klinis berat dari KEP adalah Marasmus, Kwashiorkor, dan Marasmus-Kwashiorkor.
Sedangkan menurut Jellife (1966) dalam Supariasa,
I.D.Nyoman (2002) dikatakan bahwa KEP merupakan istilah umum yang meliputi
malnutrition, yaitu gizi kurang dan gizi buruk termasuk marasmus dan
kwashiorkor.
KEP merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang
disebabkan oleh kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang
berbeda-beda, pada derajat yang ringan sampai berat. Beberapa
pengertian Kurang Energi Protein (KEP):
1.
KEP adalah keadaan
kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam
makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu sehingga tidak memenuhi
Angka Kecukupan Gizi (AKG). Disebut KEP apabila berat badannya kurang dari 80 %
indeks berat badan menurut (BB/U) baku WHO-NCHS.
2.
Istilah Kurang Energi
Protein (KEP) digunakan untuk menggambarkan kondisi klinik berspektrum luas
yang berkisar antara sedang sampai berat. KEP yang berat memperlihatkan
gambaran yang pasti dan benar (tidak mungkin salah) artinya pasien hanya
berbentuk kulit pembungkus tulang, dan bila berjalan bagaikan tengkorak
(Daldiyono dan Thaha, 1998).
3.
KEP adalah gizi buruk yang merupakan suatu
istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan
kedokteran. Gizi buruk itu sendiri adalah bentuk terparah (akut) dari proses
terjadinya kekurangan gizi menahun atau kekurangan gizi tingkat berat. Gizi
buruk yang disertai dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus, kwashiorkor dan
kombinasi marasmus kwashiorkor (Soekirman (2000).
4.
KEP terjadi manakala
kebutuhan tubuh akan kalori dan protein atau keduanya tidak tercukupi oleh
diet. Kedua bentuk defisiensi ini tidak jarang berjalan bersisian, meskipun
salah satu lebih dominan ketimbang yang lain.
Almatsier (2004) mengatakan KEP adalah sindroma gabungan
antara dua jenis kekurangan energi dan protein, dimana sindroma ini merupakan
salah satu masalah gizi di Indonesia.
Beberapa tipe Kurang Energi Protein (KEP) dapat
disebutkan, bahwa KEP atau gizi buruk pada tingkat ringan atau sedang, belum
menunjukkan gejala sakit. Masih seperti anak-anak lain, masih bermain dan
sebagainya, tetapi bila diamati dengan seksama badannya mulai kurus. Sedangkan
bagi KEP yang tingkat berat yang disertai dengan gejala klinis disebut marasmus
atau kwashiorkor, dimasyarakat lebih dikenal sebagai “busung lapar”.
Jika kondisi KEP cukup berat dikenal dengan istilah
marasmus dan kwashiorkor, masing-masing dengan gejala yang khas, dengan
kwashiorkor dan marasmik ditengah-tengahnya. Pada semua derajat maupun tipe KEP
ini terdapat gangguan pertumbuhan disamping gejala-gejala klinis maupun
biokimiawi yang khas bagi tipenya. Klasifikasi KEP digunakan untuk menentukan
prevalensi KEP disuatu daerah dengan melihat derajat beratnya KEP, hingga dapat
ditentukan persentase gizi kurang dan berat di daerah tersebut (Pudjiadi,
2005).
B. Etiologi KEP
Penyebab langsung dari KEP adalah defisiensi kalori
maupun protein dengan berbagai gejala-gejala. Sedangkan penyebab tidak langsung
KEP sangat banyak sehingga penyakit ini sering disebut juga dengan kausa
multifaktorial. Salah satu penyebabnya adalah keterkaitan dengan waktu
pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan makanan tambahan setelah disapih.
Selain itu, KEP merupakan penyakit lingkungan, karena
adanya beberapa factor yang bersama-sama berinteraksi menjadi penyebab
timbulnya penyakit ini, antara lain yaitu factor diet, factor social, kepadatan
penduduk, infeksi, kemiskinan, dan lain-lain. Peran diet menurut konsep klasik
terdiri dari dua konsep. Pertama yaitu diet yang mengandung cukup energy,
tetapi kurang protein akan menyebabkan anak menjadi penderita kwashiorkor,
sedangkan konsep yang kedua adalah diet kurang energy walaupun zat gizi (esensial)
seimbang akan menyebabkan marasmus. Peran factor social, seperti pantangan
untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah turun temurun dapat
mempengaruhi terjadinya KEP. Ada pantangan yang berdasarkan agama, tetapi ada
juga pantangan yang berdasarkan tradisi yang sudah turun temurun, tetapi kalau
pantangan tersebut berdasarkan agama, maka akan sulit untuk diatasi. Jika
pantangan berdasarkan pada kebiasaan atau tradisi, maka dengan pendidikan gizi
yang baik dan dilakukan dengan terus-menerus hal ini akan dapat diatasi.
KEP pada dasarnya sangat ditentukan oleh 2 faktor.
Factor-faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi terjadinya KEP pada
balita adalah makanan dan ada atau tidaknya penyakit infeksi. Kedua factor ini
dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan oleh seorang anak,
antara lain ditentukan oleh beberapa factor penyebab tidak langsung, yaitu: a)
zat-zat gizi yang terkandung di dalam makanan, b) daya beli keluarga, meliputi
penghasilan, harga bahan makanan dan pengeluaran keluarga untuk kebutuhan lain
selain makanan, c) kepercayaan ibu tentang makanan serta kesehatan, d) ada atau
tidaknya pemeliharaan kesehatan termasuk kebersihan, dan e) fenomena social dan
keadaan lingkungan.
Menurut Departemen Kesehatan RI dalam tata buku pedoman
Tata Laksana KEP pada anak di puskesmas dan di rumah tangga, KEP berdasarkan
gejala klinis ada 3 tipe yaitu KEP ringan, sedang, dan berat (gizi buruk).
Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang ditemukan hanya anak tampak
kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan
sebagai marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.
Salah satu sebab yang mengakibatkan terjadinya marasmus
adalah kehamilan berturut-turut dengan jarak kehamilan yang masih terlalu dini.
Selain itu marasmus juga disebabkan karena pemberian makanan tambahan yang
tidak terpelihara kebersihannya serta susu buatan yang terlalu encer dan
jumlahnya tidak mencukupi karena keterbatasan biaya, sehingga kandungan protein
dan kalori pada makanan anak menjadi rendah. Keadaan perumahan dan lingkungan
yang kurang sehat juga dapat menyebabkan penyajian yang kurang sehat dan kurang
bersih. Demikian juga dengan penyakit infeksi terutama saluran pencernaan. Pada
keadaan lingkungan yang kurang sehat, dapat terjadi infeksi yang berulang
sehingga menyebabkan anak kehilangan cairan tubuh dan zat-zat gizi sehingga
anak menjadi kurus serta turun berat badannya.
Kwashiorkor dapat ditemukan pada anak-anak yang setelah
mendapatkan ASI dalam jangka waktu lama, kemudian disapih dan langsung
diberikan makan seperti anggota keluarga
yang lain. Makanan yang diberikan pada umumnya rendah protein. Kebiasaan makan
yang kurang baik dan diperkuat dengan adanya tabu seperti anak-anak dilarang
makan ikan dan memprioritaskan makanan sumber protein hewani bagi anggota
keluarga laki-laki yang lebih tua dapat menyebabkan terjadinya kwashiorkor.
Selain itu tingkat pendidikan orang tua yang rendah dapat juga mengakibatkan
terjadinya kwashiorkor karena berhubungan dengan tingkat pengetahuan ibu
tentang gizi yang rendah.
Menurut Ngastiyah, 1997
faktor-faktor penyebab kurang energi protein dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Primer
a) Susunan makanan yang salah
b) Penyedia makanan yang kurang baik
c) Kemiskinan
d) Ketidaktahuan tentang nutrisi
e) Kebiasan makan yang salah.
2. Sekunder
a) Gangguan pencernaan (seperti malabsorbsi, gizi tidak baik, kelainan struktur saluran).
b) Gangguan psikologis.
1. Primer
a) Susunan makanan yang salah
b) Penyedia makanan yang kurang baik
c) Kemiskinan
d) Ketidaktahuan tentang nutrisi
e) Kebiasan makan yang salah.
2. Sekunder
a) Gangguan pencernaan (seperti malabsorbsi, gizi tidak baik, kelainan struktur saluran).
b) Gangguan psikologis.
C.
Penyebab Kekurangan Energi Protein ( KEP )
Penyebab
langsung adalah asupan gizi dan penyakit infeksi. Timbulnya KEP tidak hanya
karena makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat
makanan yang cukup baik tetapi sering menderita diare atau demam, akhirnya akan
menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makanannya tidak cukup
(jumlah dan mutunya) maka daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan
demikian akan mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan, dan
akhirnya dapat menderita kurang gizi/gizi buruk.
Penyebab tidak langsung
adalah ketahanan pangan tingkat keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan
kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan di keluarga (household
food security) adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan
pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun
mutu gizinya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk
menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh
kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pelayanan
kesehatan dan kesehatan lingkungan, adalah tersedianya air bersih dan sarana
pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang
membutuhkan. Ketiga faktor ini saling berhubungan. Ketiga factor penyebab tidak
langsung saling berkaitan dengan tingkat pendidikan,pengetahuan, dan
keterampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan keterampilan
kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola
pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan
yang ada, demikian juga sebaliknya.
Ketahanan
pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari hasil produksi
sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan dan daya beli
keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Sebagai contoh, air
susu ibu (ASI) adalah makanan bayi utama yang seharusnya tersedia di setiap
keluarga yang mempunyai bayi. Makanan ini seharusnya dapat dihasilkan oleh
keluarga tersebut sehinggatidak perlu dibeli. Namun tidak semua keluarga
dapat memberikan ASI kepada bayinya oleh karena berbagai masalah yang dialami
ibu. Akibatnya, bayi tidak diberikan ASI atau diberi ASI dalam jumlah yang
tidak cukup sehingga harus diberikan tambahan makanan pendamping ASI (MP-ASI).
Timbul masalah apabila oleh berbagai sebab, misalnya kurangnya pengetahuan dan
atau kemampuan, MP-ASI yang diberikan tidak memenuhi persyaratan. Dalam keadaan
demikian, dapat dikatakan ketahanan pangan keluarga ini rawan karena tidak
mampu memberikan makanan yang baik bagi bayinya sehingga berisiko tinggi
menderita gizi buruk.
Pola pengasuhan
anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya
dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi kasih sayang dan
sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan
(fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan keterampilan
tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau dimasyarakat,
sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat, dan
sebagainya dari si ibu atau pengasuh anak.
Pelayanan
kesehatan, adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya
pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan
kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan
gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek
bidan atau dokter, rumah sakit, dan pesediaan air bersih. Tidak terjangkaunya
pelayanan kesehatan (karena jauh dan atau tidak mampu membayar), kurangnya
pendidikan dan pengetahuan merupakan kendala masyarakat dan keluarga
memanfaatkan secara baik pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat
berdampak juga pada status gizi anak.
Berbagai faktor
langsung dan tidak langsung penyebab gizi kurang, berkaitan dengan pokok
masalah yang ada di masyarakat dan akar masalah yang bersifat nasional. Pokok
masalah di masyarakat antara lain berupa ketidakberdayaan masyarakat dan
keluarga mengatasi masalah kerawanan ketahanan pangan keluarga, ketidaktahuan
pengasuhan anak yang baik, serta ketidakmampuan memanfaatkan pelayanan
kesehatan yang tersedia.
D.
Jenis-Jenis Kekurangan Energi
Protein ( KEP )
a. Kwashiorkor
Kwashiorkor merupakan keadaan kekurangan nutrisi terutama
kekurangan protein. Umumnya keadaan ini terjadi
akibat kurangnya asupan gizi yang sering terjadi di negara berkembang atau pada
daerah yang mengalami embargo politik. Daerah yang sangat terpencil juga
merupakan salah satu faktor terjadinya kondisi kwashiorkor.
Individu yang mengalami kwashiorkor dapat mengalam
berbagai macam manifestasi atau gejala antara lain: penurunan berat badan,
penurunan massa otot, diare, lemah lesu, perut buncit, bengkak pada tungkai,
perubahan warna rambut, dan lain-lain. Seperti yang kita ketahui protein
berfungsi dalam pembentukan enzim-enzim penting dalam tubuh. Kurangnya protein
mengakibatkan kurangnya enzim tersebut. Pada anak kecil seringkali terjadi
intoleransi laktosa akibat enzim pencernaan yang kurang dan hal ini
mengakibatkan terjadinya diare pada anak-anak kurang energi protein.
Pada individu yang mengalami keadaan ini, pemberian
makanan haruslah dilakukan.secara bertahap. Zat makanan pertama yang perlu
diberikan adalah karbohidrat karena karbohidrat merupakan sumber utama
pembentukan energi oleh tubuh. Setelah itu barulah lemak dan protein diberikan.
Penatalaksanaan yang baik akan menyelamatkan nyawa anak tersebut namun efek
gangguan perkembangan anak yang telah terjadi belum tentu akan pulih dan
umumnya akan menetap. Keadaan kwashiorkor merupakan suatu keadaan bahaya yang
dapat menyebabkan kematian oleh karena itu usaha promotif dan preventif adalah
yang utama.
Pencegahan agar anak terhindar dari kwashiorkor adalah
cukup mudah, tidak perlu ada obat-obatan yang wajib dikonsumsi. Pemberian makanan
dengan komposisi yang baik sudah dapat “menjamin” bahwa anak tersebut tidak
akan jatuh ke keadaan kwashiorkor. Karbohidrat harus merupakan sumber energi
yang utama selain lemak (10% asupan), dan protein (12%).
b.
Marasmus
Kekurangan
energi marasmus merupakan suatu keadaan kekurangan energi protein akibat
rendahnya asupan karbohidrat. Keadaan ini acapkali ditemukan dan angka
kejadiannya mencapai 49% pada kurang lebih 10 juta anak di bawah 5 tahun yang
mengalami kematian di negara berkembang, sedangkan di negara maju angka
kejadiannya tidak begitu tinggi.
Adanya
kondisi fisik yang tidak baik merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
kekurangan karbohidrat pada anak-anak. Kondisi fisik tersebut antara lain
adalah penyakit jantung bawaan, retardasi mental, penyakit kanker, infeksi
kronis, keadaan yang mengharuskan anak dirawat lama di rumah sakit. Anak akan
tampak lesu dan tidak bersemangat, diare kronis, berat badan tidak bertambah.
Pemeriksaan
untuk mengetahui apakah anak menderita marasmus dapat dilakukan melalui
pengukuran tebal lipat lemak pada lengan atas, perut. Pemeriksaan ini memiliki
keterbatasan karena rata-rata anak berusia di bawah 5 tahun memiliki tebal
lipat lemak pada lengan atas yang tidak jauh berbeda.
Penelitian
di Nigeria menunjukkan hal yang menarik dimana kadar kolesterol anak yang
menderita marasmus lebih tinggi daripada anak yang menderita kwashiorkor.
Alasan mengapa hal ini dapat terjadi masih belum dapat dijelaskan dengan baik.
Kekurangan
energi protein pada anak-anak merupakan suatu keadaan bahaya yang perlu
dilakukan tindakan segera. Kekurangan energi protein ini mengakibatkan
perubahan komposisi tubuh, perubahan anatomi dan metabolisme tubuh yang bisa
permanen jika tidak ditatalaksana dengan segera.
c.
Marasmus kwashiorkor
Pada
kekurangan energi marasmus kwashiorkor terdapat kekurangan energi kalori maupun
protein. Mengapa ada anak yang jatuh ke dalam keadaan kwashiorkor, marasmus,
atau marasmus kwashiorkor masih belum jelas dan masih membutuhkan penelitian
yang lebih lanjut. Namun semua bentuk kekurangan energi protein pada
anak-anak ini disebabkan oleh asupan makanan bergizi yang tidak adekuat
atau adanya kondisi fisik tubuh yang mengakibatkan makanan yang dikonsumsi
tidak dapat diserap dan digunakan oleh tubuh selain adanya keadaan metabolisme
yang meningkat yang disebabkan mungkin oleh penyakit kronis atau penyakit
keganasan.
E.
Klasifikasi Kurang
Energi Protein (KEP)
Untuk tingkat puskesmas penentuan KEP yang dilakukan
dengan menimbang berat badan anak dibanding dengan umur dan menggunakan KMS dan
tabel BB/U Baku Median WHO – NCHS.
1.
KEP
ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada pita kuning
2. KEP sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS
terletak di Bawah Garis Merah ( BGM ).
3. KEP berat/gizi buruk bila hasil penimbangan BB/U < 60
% baku median WHO-NCHS. Pada KMS tidak ada garis pemisah KEP berat/gizi buruk
dan KEP sedang, sehingga untuk menentukan KEP berat/gizi buruk digunakan tabel
BB/U Baku median WHO-NCHS.
a. Keuntungan penggunaan baku WHO-NCHS adalah dapat
terhindar dari kekeliruan interpretasi karean baku WHO-NCHS sudah dapt
membedakn jenis kelamin dan lebih memperhatikan keadaan masa lampau.
Kelemahannya adalah apabila umur tidak diketahui dengan pasti maka akan sulit
digunakan, kecuali untuk indeks BB/TB.
b. Untuk menentukan klasifikasi status gizi digunakan Z-score(simpang baku) sebagai batas ambang.
Kategori dengan klasifikasi status gizi berdasarkan indeks BB/U, PB/U atau
BB/TB dibagi menjadi 3 golongan dengan
batas ambang sebagai berikut:
a. Indeks BB/U
1. Gizi lebih, bila Z-score terletak > +2SD
2. Gizi lebih, bila Z-score terletak ≥ -2SD s/d +2SD
3. Gizi kurang, bila Z-score terletak ≥ -3SD s/d <-2SD
4. Gizi buruk, bila Z-score terletak > -3SD
b. Indeks TB/U
1.
Normal,
bila Z-score terletak ≥ -2SD
2.
Pendek,
bila Z-score terletak < -2SD
c. Indeks BB/TB
1.
Gemuk,
bila Z-score terletak < -3SD
2.
Normal,
bila Z-score terletak ≥ -2SD s/d +2SD
3.
Kurus,
bila Z-score terletak ≥ -3SD s/d <-2SD
4.
Kurus
sekali, bila Z-score terletak > -3SD
(sumber: WNPG VII, 2000)
Pertimbangan dalam
menetapkan Cutt Off Point gizi didasarkan pada asumsi resiko kesehatan:
a. Antara -2SD sampai +2SD tidak memiliki atau beresiko
paling ringan untuk menderita masalah kesehatan.
b. Antara -2SD sampai -3SD atau antara +2SD sampai +3SD
memiliki resiko cukup tinggi untuk menderita masalah kesehtan.
c. Di bawah -3SD ata di atas +2SD memiliki resiko tinggi
untuk memderita masalah kesehatan.
F.
Gejala klinis Balita KEP berat/Gizi buruk
Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang ditemukan
hanya anak tampak kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar
dapat dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor atau marasmickwashiokor.Tanpa
mengukur/melihat BB bila disertai oudema yang bukan karena penyakit lain adalah
KEP berat/gizi buruk tipe kwashiorkor.
a. Kwashiokor
1. Oudema,umumnya seluruh tubuh,terutama pada pada punggung
kaki (dorsum pedis )
2. Wajah membulat dan sembab
3. Pandangan mata sayu
4. Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung,
mudah dicabut tanpa rasa sakit,rontok
5. Perubahan status mental, apatis dan rewel
6. Pembesaran hati
7. Otot mengecil(hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada
posisi berdiri atau duduk
8. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan
berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas
9. Sering disertai penyakit infeksi, umumnya akut,anemia dan
diare.
b. Marasmus
1. Tampak sangat kurus,tinggal tulang terbungkus kulit
2. Wajah seperti orang tua
3. Cengeng rewel
4. Kulit keriput,jaringan lemak subkutis sangat sedikit
sampai tidak ada (pakai celana longgar )
5. Perut cekung
6. Iga gambang
7. Sering disertai penyakit infeksi( umumnya kronis
berulang), diare kronis atau konstipasi/susah buang air.
c. Marasmik- kwashiorkor
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala
klinik kwashiorkor dan marasmus, dengan BB/U< 60 % baku median WHO-NCHS
disertai oedema yang tidak mencolok.(DEPKES RI. 1999).
Kekurangan zat gizi makro ( energi dan protein ) dalam
waktu besar dapat mengakibatkan menurunya status gizi individu dalam waktu
beberapa hari atau minggu saja yang ditandai dengan penurunan berat badan yang
cepat.Keadaan yang diakibatkan oleh kekurangan zat gizi sering disebut dengan
istilah gizi kurang atau gizi buruk.Kejadian kekurusan ( kurang berat terhadap
tinggi badan) pada tingkat sedang dan berat pada anak kecil maupun kekurusan
pada individu yang lebih tua dapat mudah dikenali dengan mata . Demikian pula
halnya dengan kasus kekurangan energi berat (marasmus) dan kekurangan protein
berat(kwasiokor) serta kasus kombinasi marasmik-kwassiokor dapat dikenali
tanda- tandanya dengan mudah (Soekirman, MPS. 1998).
Epidemilogi gangguan pertumbuhan atau kurang gizi pada
anak balita selalu berhubungan erat dengan keterbelakangan dalam pembangunan social
ekonomi. Kekurangan gizi tidak terjadi secara acak dan tidak terdistribusi
secara merata ditingkat masyarakat, tetapi kekurangan gizi sangat erat
hubungannya dengan sindroma kemiskinan. (Gopalan, C. 1987).
Tanda – tanda sindroma, antaralain berupa : penghasilan
yang amat rendah sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan
perumahan, kuantitas dan kualitas gizi makanan yang rendah sanitasi lingkungan
yang jelek dan sumber air bersih yang kurang, akses terhadap pelayanan
kesehatan yang amat terbatas, jumlah anggota keluarga yang terlalu besar, dan
tingkat buta aksara tinggi (Gopalan, C. 1987).
Status gizi terutama ditentukan ketersediaan dalam jumlah
yang cukup dandalam kombinasi pada waktu yang tepat ditingkat sel semua zat gizi yang diperlukan tubuh untuk pertumbuhan,
perkembangan, dan berfungsi normal semua anggota badan. Oleh karena itu prinsipnya
status gizi di tentukan oleh dua hal – terpenuhinya dari makanan semua zat-zat
gizi yang diperlukan tubuh, dan peranan faktor-faktor yang menentukan besarnya
kebutuhan, penyerapan dan penggunaan zat gizi tersebut. Terhadap kedua hal ini,
faktor genetik dan faktor sosial ekonomi berperan. (Martorell, R, and Habicht,
1986).
G. Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Sosial ekonomi tehadap
balita Kurang Energi Protein (KEP) :
a)
Pendapatan Keluarga Perkapita
Komsumsi makanan yang berkurang sering dialami oleh
penduduk yang berpendapatan rendah.Hal ini disebabkan oleh daya beli keluarga
yang rendah. Pendapatan keluarga akan mempengaruhi pola pengeluaran komsumsi
keluarga. Tingkat pendapatan yang nyata dari keluarga menentukan jumlah dan
kualitas makanan yang diperoleh (Suhardjo,1989).
Masalah komsumsi pangan, rata- rata komsumsi energi dan
protein secara nasional meningkat dengan tajam. Pada tahun 1984 rata – rata
komsumsi energy perkapita 1798 kalori,meningkat menjadi 1905 kalori pada tahun
1990 dan menjadi 1962 kalori pada tahun 1995. Sedangkan dalam kurun waktu yang
sama rata – rata komsumsi protein meningkat menjadi dari 43,3 gram,45,4 dan
49,2 perkapita/ hari. (SKPG. 1998)
b)
Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang
berlangsung seumur hidup dalam rangka mengalihkan pengetahuan oleh seseorang
kepada orang lain (Siagian,1991). Pendidikan terutama pendidikan ibu
berpengaruh sangat kuat terhadap kelangsungan anak dan bayinya. Pada masyarakat
dengan rata –rata pendidikan rendah menunjukan prevalensi gizi kurang yang
tinggi dan sebaliknya pada masyarakat yang pendidikannya cukup tinggi
prevalensi gizi kurangnya rendah( Abunain,1988)
Ibu yang pendidikan tinggi akan memilih jenis dan jumlah
makanan untuk keluarga dengan mempertimbangan syarat gizi disamping mempertimbangkan
factor selera oleh karena itu ibu rumah tangga pada umumnya yang mengatur dan menentukan
segala urusan makanan dan kebutuhan keluarga (Suhardjo,1986)
Seseorang yang pendidikannya lebih tinggi mempunyai
pengertian yang lebih baik akan kesehatan gizi dengan menangkap informasi dan
menafsirkan informasi tersebut guna kelansungan hidupnya lebih – lebih pada
jaman kemajuan ilmu tehnologi.Dengan berbekal pendidikan yang cukup seseorang
ibu akan lebih banyak memperoleh informasi serta lebih tanggap terhadap
permasalahan yang dihadapi.Dengan demikian mereka dapat memilih serta
menentukan aternatif lebih baik untuk kepentingan rumah tangganya termasuk
dalam menentukan pemberian makanan bagi balita yang ada dirumah tangga tersebut
(Biro Pusat Statistik,1993)
c)
Pekerjaan
Anak nelayan tradisional mempunyai resiko menjadi kurang
gizi tiga kali lebih besar dibanding pada anak peternak, petani pemilik lahan,
ataupun tenaga kerja terlatih. Hal penelitian ini juga menunjukan bahwa
pengelompokan pekerjaan yang terlalu umum misalnya nelayan saja bisa mengatur
pertumbuhan peranan factor pekerjaan orang tua terhadap resiko anak mereka
untuk menderita kurang gizi, resiko kurang gizi pada anak nelayan tradisional
tiga kali lebih besar dibanding anak nelayan yang punya perahu bermotor. Efek
ganda ( interaksi ) dari berbagai faktor sosial ekonomi dalam menyebabkan jatuhnya
seorang anak pada keadaan kurang gizi perlu diperhitungkan (Mc Lean, W.1984).
d)
Keadaan Sanitasi Lingkungan
Faktor utama yang mempengaruhi kesehatan anak dan juga
kesehatan orang dewasa adalah tersedianya air bersih dan sanitasi yang aman.
Semua ini bukan saja penting untuk kesehatan dan kesejahteraan manusia,tetapi
juga sangat membantu bagi eman sipasi kaum wanita dari beban kerja berat yang mempunyai
dampak yang merusak terhadap anak – anak, terutama anak- anak perempuan.
Kemajuan dalam kesehatan anak tidak mungkin dipertahankan jika sepertiga dari
anak- anak didunia ketiga tetap tidak menikmati sarana sanitasi yang layak.
Berdasarkan pengalaman pada dasa warsa yang lalu,termasuk
inovasi yang banyak jumlahnya dalam tehnik dan tekhnologi-tekhnologi yang
sederhana dan murah untuk menyediakan air bersih dan sarana sanitasi yang aman
didaerah pedesaan dan perkampungan kumuh dikota,kini patut dan layak melalui
tindakan nasional bersama dan kerjasama internasional untuk menyediakan air
minum yang amam dan sarana pembuangan kotoran manusia yang aman untuk semua
(DEPKES RI,1990).
Penyebab
langsung adalah asupan gizi dan penyakit infeksi. Timbulnya KEP tidak hanya
karena makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat
makanan yang cukup baik tetapi sering menderita diare atau demam, akhirnya akan
menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makanannya tidak cukup
(jumlah dan mutunya) maka daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan
demikian akan mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan, dan
akhirnya dapat menderita kurang gizi/gizi buruk.
Penyebab tidak
langsung adalah ketahanan pangan tingkat keluarga, pola pengasuhan anak, serta
pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan di keluarga
(household food security) adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi
kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah
maupun mutu gizinya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan masyarakat
untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat
tumbuh kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pelayanan
kesehatan dan kesehatan lingkungan, adalah tersedianya air bersih dan sarana
pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang
membutuhkan. Ketiga faktor ini saling berhubungan. Ketiga factor penyebab tidak
langsung saling berkaitan dengan tingkat pendidikan,pengetahuan, dan
keterampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan keterampilan
kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola
pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan
yang ada, demikian juga sebaliknya.
H.
Ambang
batas masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat
Penilaian masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat di suatu
wilayah dilakukan dengan membandingkan jenis dan besaran masalah gizi dengan ambang batas (cut off ) yang telah disepakati secara universal.
Bila besaran
masalah gizi di suatu wilayah berada diatas ambang batas yang ditentukan,
maka masalah tersebut dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat. Tabel
ambang batas masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat dipergunakan
pentahapan dan prioritas perencanan perbaikan gizi.
Tabel 2.1Ambang batas
masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat
Untuk
mengetahui seorang anak menderita gizi buruk perlu dihitung status gizinya.
Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung
dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung antara
lain dengan antropometri biokimia, klinik, biofisik. Penilaian status gizi secara tidak langsung
dilakukan dengan survei konsumsi makanan, statistik
vital dan faktor ekologi. Pengukuran yang sering digunakan
adalah pengukuran dengan antropometri. Ditinjau dari sudut
pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai
pengukuran dimensi tubuhdan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur
dan tingkat gizi.Berat badan merupakan antropometri yang paling
banyak digunakan karena parameter ini mudah dimengerti sekalipun oleh mereka
yang buta huruf. Standar baku yang dianjurkan untuk menilai status gizi anak di
bawah lima tahun di Indonesia adalah baku World Health
Organization-National Centre for Health Statistic (WHO-NCHS). Indeks antropometri
yang sering digunakan untuk mendeteksi gizi buruk adalah berat badan menurut
umur (BB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dengan ambang
batasmemakai standar deviasi unit (SD) yang disebut Z-Skor dan
dibandingkandengan Klasifikasi Status Gizi Anak. Untuk menghitung status
gizidiperlukan tabel baku rujukan WHO-NCHS.
I.
Program
penanggulangan KEP
Pelayanan gizi
balita KEP pada dasarnya setiap balita yang berobat atau dirujuk ke rumah sakit
dilakukan pengukuran berat badan, tinggi badan dan lila untuk menentukan status
gizinya, selain melihat tanda-tanda klinis dan laboratorium. Penentuan status
gizi maka perlu direncanakan tindakan sebagai berikut :
1.
Balita KEP ringan, memberikan penyuluhan gizi dan nasehat
pemberian makanan di rumah (bilamana pasien rawat jalan, dianjurkan untuk
memberi makanan di rumah (bayi umur < 4 bulan) dan terus diberi ASI sampai 3
tahun.
2.
Balita KEP sedang; (a) Penderita rawat jalan : diberikan
nasehat pemberian makanan dan vitamin serta teruskan ASI dan pantau terus berat
badannya. (b) Penderita rawat inap : diberikan makanan tinggi energi dan
protein, dengan kebutuhan energi 20-50% diatas kebutuhan yang dianjurkan (angka
kecukupan gizi/AKG) dan diet sesuai dengan penyakitnya.
3.
Balita KEP berat : harus dirawat inap di RS dan
dilaksanakan sesuai pemenuhan kebutuhan nutrisinya.
Kegiatan
penanggulangan KEP balita meliputi :
a)
Penjaringan balita KEP yaitu kegiatan penentuan ulang
status gizi balita beradsarkan berat badan dan perhitungan umur balita yang
sebenarnya dalam hitungan bulan pada saat itu.Cara penjaringan yaitu balita
dihitung kembali umurnya dengan tepat dalam hitungan bulan, balita ditimbang
berat badannya dengan menggunakan timbangan dacin, berdasarkan hasil
perhitungan umur dan hasil pengukuran BB tersebut tentukan status gizi dengan
KMS atau standar antropometri.
b)
Kegiatan penanganan KEP balita meliputi program PMT
balita adalah program intervensi bagi balita yang menderita KEP yang ditujukan
untuk mencukupi kebutuhan zat gizi balita gar meningkat status gizinya sampai
mencapai gizi baik (pita hijau dalam KMS), pemeriksaan dan pengobatan yaitu
pemeriksaan dan pengobatan untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit
penyerta guna diobati seperlunya sehingga balita KEP tidak semakin berat
kondisinya, asuhan kebidanan/keperawatan yaitu untuk memberikan bimbingan
kepada keluarga balita KEP agar mampu merawat balita KEP sehingga dapat
mencapai status gizi yang baik melalui kunjungan rumah dengan kesepakatan
keluarga agar bisa dilaksanakan secara berkala, suplementasi gizi/ paket
pertolongan gizi hal ini diberikan untuk jangka pendek. Suplementasi gizi
meliputi : pemberian sirup zat besi; vitamin A (berwarna biru untuk bayi usia
6-11 bulan dosis 100.000 IU dan berwarna merah untuk balita usia 12-59 bulan
dosis 200.000 IU); kapsul minyak beryodium, adalah larutan yodium dalam minyak
berkapsul lunak, mengandung 200 mg yodium diberikan 1x dalam setahun.
c)
Balita KEP ringan, memberikan penyuluhan gizi dan nasehat
pemberian makanan di rumah (bilamana pasien rawat jalan, dianjurkan untuk
memberi makanan di rumah (bayi umur < 4 bulan) dan terus diberi ASI sampai 3
tahun.
d)
Balita KEP sedang;
Penderita rawat
jalan : diberikan nasehat pemberian makanan dan vitamin serta teruskan ASI dan
pantau terus berat badannya.
Penderita rawat
inap : diberikan makanan tinggi energi dan protein, dengan kebutuhan energi
20-50% diatas kebutuhan yang dianjurkan (angka kecukupan gizi/AKG) dan diet
sesuai dengan penyakitnya.
Adapun
penanggulangan lainnya pada penderita KEP yaitu :
1.
Jangka pendek
a.
Upaya pelacakan kasus melalui penimbangan
bulanan di posyandu
b.
Rujukan kasus KEP dengan komplokasi pengakit
di RSU
c.
Pemberian ASI Eklusif untuk bayi usia 0-6
bulan
d.
Pemberian kapsul vitamin A
e.
Pemberian makanan tambahan (PMP)
f.
Pemulihan bagi balita gizi buruk dengan lama
pemberian 3 bulan
g.
Memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI)
bagi balita keluarga miskin usia6-12 bulan
h. Promosi
makanan sehat dan bergizi
2. Jangkah menengah
a.
Revitalisasi
Posyandu
b. Revitalisasi Puskesmas
c. Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
3. Jangkah panjang
a. Pemberdayaan masyarakat menuju Keluarga Sadar Gizi
(Kadarzi)
b. Integrasi kegiatan lintas sektoral dengan program
penanggulangan kemiskinan dan ketahanan pangan.
Penanggulangan Kekurangan
Energi Protein ( KEP ) juga dapat dilakukan dengan meningkatkan asupan protein. Secara
umun dikenal dua jenis protein yaitu protein yang berasal dari hewan dan
protein nabati yang berasal dari tumbuhan. Protein hewani dapat diperoleh dari
berbagai jenis makanan seperti ikan, daging, telur dan susu. Protein nabati
terutama berasal dari kacang-kacangan serta bahan makanan yang terbuat dari
kacang (Elly Nurachmah, 2001:15).
Protein
kacang-kacangan mempunyai nilai gizi lebih rendah
dibandingkan
dengan protein dari jenis daging (protein hewani). Namun, kalau beberapa jenis
protein nabati dikombinasikan dengan perbandingan yang tepat, dapat
dihasilkan campuran yang mempunyai nilai kualitas protein lengkap. Selain
itu, sumber protein nabati juga lebih murah harganya dibandingkan dengan
sumber protein hewani, sehingga dapat terjangkau oleh daya beli
sebagian masyarakat (Achmad Djaeni, 1999:120)
Tempe adalah
makanan khas Indonesia. Menurut Anggrahini (1983)
dalam Novalia
Anggraini (2007), tempe merupakan sumber protein nabati yang mempunyai
nilai gizi yang tinggi daripada bahan dasarnya. Tempe dibuat dengan
cara fermentasi yaitu dengan menumbuhkan kapang Rhizopus oryzae pada
kedelai matang yang telah dilepaskan kulitnya. Kedelai adalah salah satu
tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan.
Kedelai kering mengandung protein 34,9% tiap 100 gr, sedangkan kedelai basah
mengandung protein sebanyak 30,2% tiap 100 gr (Achmad
Djaeni,
1999:121). Tempe dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat dengan konsumsi
rata-rata per hari per orang 4,4 gr sampai 20,0 gr. Tempe dapat diperhitungkan
sebagai sumber makanan yang baik gizinya karena mempunyai
kandungan protein, karbohidrat, asam lemak esensial, vitamin dan mineral
(Novalia Anggraini, 2007).
Sedangkan Protein secara berlebihan
tidak menguntungkan tubuh.
Makanan yang
tinggi protein biasanya tinggi lemak sehingga dapat
menyebabkan
obesitas. Kelebihan protein dapat menimbulkan masalah lain, terutama pada
bayi. Kelebihan asam amino memberatkan ginjal dan hati yang harus memetabolisme
dan mengeluarkan kelebihan nitrogen. Kelebihan protein akan
menimbulkan
asidosis, dehidrasi, diare, kenaikan amoniak darah,
kenaikan ureum
darah dan demam(Sunita, 2003:104).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kurang Energi Protein
(KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya komsumsi
energi dan protein dalam makanan
sehari-hari atau gangguan penyakit –penyakit tertentu. Anak tersebut kurang
energi protein (KEP) apabila berat badanya kurang dari 80 % indek berat badan/umur
baku standar,WHO –NCHS.
KEP adalah defisiensi kalori maupun protein dengan
berbagai gejala-gejala. Sedangkan penyebab tidak langsung KEP sangat banyak
sehingga penyakit ini sering disebut juga dengan kausa multifaktorial. Salah
satu penyebabnya adalah keterkaitan dengan waktu pemberian Air Susu Ibu (ASI)
dan makanan tambahan setelah disapih.
Menurut Departemen Kesehatan RI dalam tata buku pedoman
Tata Laksana KEP pada anak di puskesmas dan di rumah tangga, KEP berdasarkan
gejala klinis ada 3 tipe yaitu KEP ringan, sedang, dan berat (gizi buruk).
Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang ditemukan hanya anak tampak
kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan
sebagai marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.
B.
Saran
Mencegah lebih baik
daripada mengobati.Istilah ini sudah sangat lumrah di kalangan kita.Oleh karena
itu, untuk mencegah terjadinya KEP, maka yang harus kita ubah mulai sekarang
adalah pola hidup dan pola makan yang sehat dan teratur, dengan memperhatikan
gizi yang seimbang serta juga memperhatikan lingkungan yang sehat sehingga
dapat menunjang kedepannya. Jika kita membiasakan hidup sehat, maka kita tidak
akan mudah terserang penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Edwin,
saputra suriadi. 2009. kejadian KEP.
fkm UI Jakarta
Arisman. 2009. Buku ajar ilmu gizi dari gizi dalam daur kehidupan. Jakarta; buku
kedokteran EGC
Syafiq, ahmad. 2011. Gizi dan kesehatan masyarakat. Jakarta; rajawali pers
Artonang evawani. 2004. Kurang energi protein. Medan; USU digital library
loading...
No comments:
Post a Comment
Terimakasih Telah Mengunjungi Blog Ini, Silahkan Berikan Komentar dan Saran Anda