loading...
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hipertensi |
Prevalensi
penderita hipertensi di Indonesia terus terjadi peningkatan. Hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2000 sebesar 21% menjadi 26,4% dan
27,5% pada tahun 2001 dan 2004. Selanjutnya, diperkirakan meningkat lagi
menjadi 37% pada tahun 2015 dan menjadi 42% pada tahun 2025. Menurut data
Kementrian Kesehatan RI tahun 2009 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi
sebesar 29,6% dan meningkat menjadi 34,1% tahun 2010. Data Dinas Kesehatan kota
Semarang tahun 2009 menyebutkan prevalensi hipertensi sebesar 12,85 % dengan
jumlah kasus sebanyak 2063 (Apriany, 2012)
Prevalensi
Penyakit Hipertensi pada tahun 2008 hingga tahun 2010 menunjukkan adanya
penurunan kasus yang cukup tinggi, pada tahun 2008 sebesar 865204 jiwa, pada
tahun 2009 sebesar 698816 jiwa, pada tahun 2010 sebesar 562117 jiwa. Namun,
pada tahun 2011 terjadi peningkatan jumlah kasus yaitu sebesar 634860 jiwa
(Dinkesprov, 2011).
Salah
satu komplikasi utama dari hipertensi adalah stroke. Zat-zat yang terlarut
seperti kolesterol, kalsium dan lain sebagainya akan mengendap pada dinding
pembuluh yang dikenal dengan istilah penyempitan pembuluh darah. Bila
penyempitan pembuluh darah terjadi dalam waktu yang lama dengan tekanan darah
yang sangat tinggi, maka pembuluh darah akan pecah yang akan mengakibatkan
suplai darah ke otak berkurang dan tidak adekuat lagi, bahkan terhenti yang
selanjutnya menimbulkan stroke (Pudiastuti, 2011)
B.
Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian penyakit hipertensi
2. Untuk mengetahui tanda dan gejala penyakit Hipertensi
3. Untuk mengetahui penyebab hipertensi, baik hipertensi
primer maupun sekunder
4. Untuk mengetahui klasifikasi penyakit hipertensi
5. Untuk mengetahui diagnosis penyakit hipertensi
6. Untuk mengetahui pencegahan dari penyakit hipertensi
C.
Tujuan
Untuk mengetahui penyakit hipertensi pada pekerja, dan
apa-apa saja kasus yang terjadi di Indonesia maupun di luar indonesia
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hipertensi
Hipertensi (HTN) atau tekanan darah tinggi, kadang-kadang disebut juga dengan hipertensi arteri, adalah kondisi
medis kronis
dengan tekanan darah di arteri
meningkat. Peningkatan ini menyebabkan jantung harus bekerja lebih keras dari
biasanya untuk mengedarkan darah melalui pembuluh darah. Tekanan darah
melibatkan dua pengukuran, sistolik dan diastolik, tergantung apakah otot
jantung berkontraksi (sistole) atau berelaksasi di antara denyut (diastole).
Tekanan darah normal pada saat istirahat adalah dalam kisaran sistolik (bacaan
atas) 100–140 mmHg dan diastolik (bacaan bawah) 60–90 mmHg. Tekanan
darah tinggi terjadi bila terus-menerus berada pada 140/90 mmHg atau
lebih.
Hipertensi
terbagi menjadi hipertensi primer
(esensial) atau hipertensi sekunder.
Sekitar 90–95% kasus tergolong "hipertensi primer", yang berarti
tekanan darah tinggi tanpa penyebab medis yang jelas.[1]
Kondisi lain yang mempengaruhi ginjal, arteri, jantung, atau sistem endokrin
menyebabkan 5-10% kasus lainnya (hipertensi sekunder).
Hipertensi
adalah faktor resiko
utama untuk stroke,
infark miokard
(serangan jantung), gagal
jantung, aneurisma
arteri (misalnya aneurisma aorta),
penyakit
arteri perifer, dan penyebab penyakit ginjal
kronik. Bahkan peningkatan sedang tekanan darah
arteri terkait dengan harapan
hidup yang lebih pendek. Perubahan pola makan dan
gaya hidup dapat memperbaiki kontrol tekanan darah dan mengurangi resiko
terkait komplikasi kesehatan. Meskipun demikian, obat seringkali diperlukan
pada sebagian orang bila perubahan gaya hidup saja terbukti tidak efektif atau
tidak cukup.
B.
Anatomi dan Fisiologi Hipertensi
a. Anatomi
1) Jantung
Berukuran
sekitar satu kepalan tangan dan terletak di dalam dada, batas kanannya terdapat
pada sternum kanan dan apeksnya pada ruang intercosta kelima kiri pada linea
midclavikula.
Hubungan jantung adalah:
a) atas: pembuluh darah besar
b) bawah: diafragma
c) setiap sisi: paru-paru
d) belakang: aorta dessendens, oesopagus,
columna vertebralis
2) Arteri
Adalah tabung yang dilalui darah yang
dialirkan pada jaringan dan organ. Arteri terdiri dari lapisan dalam: lapisan
yang licin, lapisan tengah jaringan elastin/otot: aorta dan cabang-cabangnya
besar memiliki lapisan tengah yang terdiri dari jaringan elastin (untuk
menghantarkan darah untuk organ), arteri yang lebih kecil memiliki lapisan
tengah otot (mengatur jumlah darah yang disampaikan pada suatu organ).
Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa
cara:
a) Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan
lebih banyak cairan pada setiap
detiknya
b) Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi
kaku, sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah
melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa
untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya
tekanan. Inilah yang terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah
menebal dan kaku karena arterosklerosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah
juga meningkat pada saat terjadi “vasokonstriksi”, yaitu jika arteri kecil
(arteriola) untuk sementara waktu mengkerut karena perangsangan saraf atau
hormon di dalam darah.
c) Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan
meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi
ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam danair dari dalam tubuh.
Volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat,
Sebaliknya, jika:
a) Aktivitas memompa jantung berkurang,
b) arteri mengalami pelebaran,
c) banyak cairan
keluar dari sirkulasi, Maka tekanan darah akan menurun atau menjadi lebih kecil.
Penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut
dilaksanakan oleh perubahan di dalam fungsi ginjal dan sistem saraf otonom
(bagian dari sistem saraf yang mengatur berbagai fungsi tubuh secara otomatis).
3) Perubahan fungsi ginjal
Ginjal mengendalikan tekanan
darah melalui beberapa cara:
a) Jika tekanan
darah meningkat, ginjal akan menambah pengeluaran garam dan air, yang akan
menyebabkan berkurangnya volume darah dan mengembalikan tekanan darah ke
normal.
b) Jika tekanan
darah menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air, sehingga volume
darah bertambah dan tekanan darah kembali ke normal
c) Ginjal juga
bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang disebut renin,
yang memicu pembentukan hormon angiotensin, yang selanjutnya akan memicu
pelepasan hormon aldosteron. Ginjal merupakan organ penting dalam mengendalikan
tekanan darah, karena itu berbagai penyakit dan kelainan pada ginjal bisa
menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi. Misalnya penyempitan arteri yang
menuju ke salah satu ginjal (stenosis arteri renalis) bisa menyebabkan
hipertensi. Peradangan dan cedera pada salah satu atau kedua ginjal juga bisa
menyebabkan naiknya tekanan darah.
4) Arteriol
Adalah pembuluh
darah dengan dinding otot polos yang relatif tebal. Otot dinding arteriol dapat
berkontraksi. Kontraksi menyebabkan kontriksi diameter pembuluh darah. Bila
kontriksi bersifat lokal, suplai darah pada jaringan/organ berkurang. Bila
terdapat kontriksi umum, tekanan darah akan meningkat.
5) Pembuluh darah utama dan
kapiler
Pembuluh darah
utama adalah pembuluh berdinding tipis yang berjalan langsung dari arteriol ke
venul. Kapiler adalah jaringan pembuluh darah kecil yang membuka pembuluh darah
utama
6) Sinusoid
Terdapat limpa,
hepar, sumsum tulang dan kelenjar endokrin. Sinusoid tiga sampai empat kali
lebih besar dari pada kapiler dan sebagian dilapisi dengan sel sistem
retikulo-endotelial. Pada tempat adanya sinusoid, darah mengalami kontak
langsung dengan sel-sel dan pertukaran tidak terjadi melalui ruang jaringan
7) Vena dan venul
Venul adalah
vena kecil yang dibentuk gabungan kapiler. Vena dibentuk oleh gabungan venul.
Vena memiliki tiga dinding yang tidak berbatasan secara sempurna satu sama
lain.
b. Fisiologi
Jantung
mempunyai fungsi sebagai pemompa darah yang mengandung oksigen dalam sistem
arteri, yang dibawa ke sel dan seluruh tubuh untuk mengumpulkan darah
deoksigenasi (darah yang kadar oksigennya kurang) dari sistem vena yang dikirim
ke dalam paru-paru untuk reoksigenasi (Black, 2010).
C.
Tanda
dan Gejala Hipertensi
Hipertensi
jarang menunjukkan gejala, dan pengenalannya biasanya melalui skrining,
atau saat mencari penanganan medis untuk masalah kesehatan yang tidak
berkaitan. Beberapa orang dengan tekanan darah tinggi melaporkan sakit
kepala (terutama di bagian belakang kepala dan pada
pagi hari), serta pusing,
vertigo,
tinitus
(dengung atau desis di dalam telinga), gangguan penglihatan atau pingsan.
Sedangkan gejala umum yang mungkin
terjadi pada orang dengan tekanan darah tinggi meliputi:
1. Sakit kepala saat bangun tidur yang
kemudian menghilang setelah beberapa jam.
2. Rasa pegal dan tidak nyaman pada
tengkuk.
3. Mudah lelah, lesu, Impoten.
4. Telinga berdenging.
5. Detak jantung berdebar cepat.
6. Pandangan agak kabur, susah tidur,
sakit pinggang, dan mudah menjadi marah.
Apabila Anda merasakan beberapa
gejala di atas, segera cari bantuan untuk mengatasi tekanan darah tinggi Anda
mengingat banyaknya komplikasi serius yang bisa jadi Anda alami diantaranya:
1.
Kerusakan
otak Tekanan
darah yang terlalu tinggi menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak (stroke)
akibatnya, darah tercecer dari daerah tertentu otak sedangkan bagian lain otak
tidak teraliri cukup sehingga bagian otak menjadi rusak.
2.
Kerusakan
jantung Tekanan
darah yang tinggi menyebabkan pembesaran otot jantung kiri sehingga jantung
mengalami gagal fungsi. Pembesaran otot jantung kiri disebabkan jantung bekerja
keras untuk memompa darah.
3.
Kerusakan
ginjal Tingginya
tekanan darah akan membuat pembuluh darah dalam ginjal tertekan. Akhirnya,
pembuluh darah menjadi rusak dan menyebabkan fungsi ginjal menurun hingga
mengalami kegagalan ginjal.
4.
Kerusakan
mata
Tekanan darah yang tinggi menyebabkan tertekannya pembuluh darah dan syaraf
pada mata sehingga penglihatan terganggu.
Pada
pemeriksaan fisik,
hipertensi juga dicurigai ketika terdeteksi adanya retinopati hipertensi
pada pemeriksaan fundus optik
di belakang mata dengan menggunakan oftalmoskop.
Biasanya beratnya perubahan retinopati hipertensi dibagi atas tingkat I-IV,
walaupun jenis yang lebih ringan mungkin sulit dibedakan antara satu dan
lainnya. Hasil oftalmoskopi juga dapat memberi petunjuk berapa lama seseorang
telah mengalami hipertensi.
1. Hipertensi sekunder
Beberapa
tanda dan gejala tambahan dapat menunjukkan hipertensi
sekunder,
yaitu hipertensi akibat penyebab yang jelas seperti penyakit ginjal atau penyakit endokrin. Contohnya, obesitas pada dada dan
perut, intoleransi
glukosa,
wajah bulat seperti bulan (moon facies), "punuk kerbau" (buffalo
hump), dan striae ungu menandakan Sindrom Cushing. Penyakit tiroid dan akromegali juga dapat menyebabkan hipertensi
dan mempunyai gejala dan tanda yang khas. Bising perut mungkin mengindikasikan stenosis arteri renalis (penyempitan arteri yang
mengedarkan darah ke ginjal). Berkurangnya tekanan darah di kaki atau lambatnya
atau hilangnya denyut arteri femoralis mungkin menandakan koarktasio aorta (penyempitan aorta sesaat setelah
meninggalkan jantung). Hipertensi yang sangat bervariasi dengan sakit kepala,
palpitasi, pucat, dan berkeringat harus segera menimbulkan kecurigaan ke arah feokromositoma.
2. Krisis hipertensi
Peningkatan
tekanan darah yang sangat tinggi (sistolik lebih atau sama dengan 180 atau
diastolik lebih atau sama dengan 110, kadang disebut hipertensi maligna atau
akselerasi) sering disebut sebagai "krisis hipertensi." Tekanan darah
di atas tingkat ini memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya komplikasi.
Orang dengan tekanan darah pada kisaran ini mungkin tidak memiliki gejala,
tetapi lebih cenderung melaporkan sakit kepala (22% dari kasus)[12] dan pusing dibandingkan dengan
populasi umum. Gejala lain krisis hipertensi mencakup berkurangnya penglihatan
atau sesak napas karena gagal jantung atau rasa lesu karena gagal ginjal. Kebanyakan
orang dengan krisis hipertensi diketahui memiliki tekanan darah tinggi, tetapi
pemicu tambahan mungkin menyebabkan peningkatan secara tiba-tiba.
"Hipertensi emergensi", sebelumnya
disebut sebagai "hipertensi maligna", terjadi saat terdapat bukti
kerusakan langsung pada satu organ atau lebih sebagai akibat meningkatnya
tekanan darah. Kerusakan ini bisa mencakup ensefalopati hipertensi, disebabkan oleh pembengkakan dan
gangguan fungsi otak, dan ditandai oleh sakit kepala dan gangguan
kesadaran
(kebingungan atau rasa kantuk). Papiledema retina dan perdarahan fundus serta eksudat adalah tanda lain kerusakan organ
target. Nyeri dada dapat merupakan tanda kerusakan
otot jantung (yang bisa berlanjut menjadi serangan jantung) atau kadang diseksi aorta, robeknya dinding dalam aorta. Sesak napas, batuk, dan
ekspektorasi dahak bernoda darah adalah ciri khas edema paru. Kondisi ini adalah pembengkakan
jaringan paru akibat gagal
ventrikel kiri,
ketidakmampuan ventrikel kiri jantung untuk memompa cukup darah
dari paru-paru ke sistem arteri. Penurunan fungsi ginjal secara cepat (cedera
ginjal akut/acute kidney injury) dan anemia hemolitik mikroangiopati (penghancuran sel-sel darah) juga
mungkin terjadi. Pada situasi ini, harus dilakukan penurunan tekanan darah
secara cepat untuk menghentikan kerusakan organ yang sedang terjadi.
Sebaliknya, tidak ada bukti bahwa tekanan darah perlu diturunkan secara cepat
dalam keadaan hipertensi emergensi bila tidak ada bukti kerusakan organ target.
Penurunan tekanan darah yang terlalu agresif bukan berarti tidak ada risiko.
Penggunaan obat-obatan oral untuk menurunkan tekanan darah secara bertahap
selama 24 sampai 48 jam dianjurkan dalam kedaruratan hipertensi.
3. Kehamilan
Hipertensi atau tekanan darah tinggi
terjadi pada sekitar 8-10% kehamilan. Kebanyakan wanita hamil yang mengalami
hipertensi memiliki kondisi hipertensi primer yang sudah ada sebelumnya.
Tekanan darah tinggi dalam kehamilan dapat merupakan tanda awal dari pre-eklampsia, suatu kondisi serius yang muncul
setelah melewati pertengahan masa kehamilan, dan dalam beberapa minggu setelah
melahirkan. Diagnosa preeklampsia termasuk peningkatan tekanan darah dan adanya
protein di dalam urin. Preeklampsia muncul pada sekitar 5% kehamilan dan
bertanggung jawab atas sekitar 16% dari semua kematian ibu secara global. Preeklampsia juga
menyebabkan risiko kematian bayi meningkat hingga dua kali lipat. Biasanya
preeklampsia tidak menunjukkan gejala dan keadaan ini terdeteksi pada
pemeriksaan rutin. Bila terjadi preeklampsia, gejala yang paling umum adalah
sakit kepala, gangguan penglihatan (sering dalam bentuk “kilatan cahaya”),
muntah, nyeri epigastrium, dan edema (bengkak). Terkadang preeklampsia
bisa berkembang menjadi kondisi yang mengancam nyawa yang disebut eklampsia. Eklampsia adalah suatu hipertensi
emergensi
dan menyebabkan beberapa komplikasi berat, seperti hilangnya penglihatan,
pembengkakan otak, kejang tonik-klonik atau konvulsi, gagal ginjal, edema paru, dan koagulasi intravaskular diseminata (gangguan pembekuan darah).
4. Bayi dan anak
Gagal tumbuh, kejang, iritabilitas, kurang energi, dan kesulitan bernafas bisa dikaitkan dengan hipertensi
pada bayi baru lahir dan bayi usia muda. Pada bayi yang lebih besar dan anak,
hipertensi bisa menyebabkan sakit kepala, iritabilitas tanpa penyebab yang jelas,
lesu, gagal tumbuh, pandangan kabur, mimisan, dan kelumpuhan wajah.
D. Penyebab Hipertensi
Tekanan darah tinggi adalah salah
satu faktor resiko untuk stroke, serangan jantung, gagal jantung dan aneurisma
arterial, dan merupakan penyebab utama gagal jantung kronis. Selain faktor
genetika, usia, dan jenis kelamin, ada beberapa faktor penyebab lain, antara
lain:
1. Stres atau perasaan tertekan.
2. Kegemukan (Obesitas).
3. Kebiasaan merokok.
4. Kurang berolahraga.
5. Kelainan kadar lemak dalam darah
(Dislipidemia).
6. Konsumsi yang berlebihan atas garam,
alkohol, dan makanan yang berlemak tinggi.
7. Kurang mengonsumsi makanan yang
berserat dan diet yang tidak seimbang.
1. Hipertensi primer
Hipertensi primer (esensial) adalah jenis hipertensi yang paling umum, meliputi sebanyak 90–95% dari seluruh kasus hipertensi. Dalam hampir semua masyarakat kontemporer, tekanan darah meningkat seiring penuaan dan risiko untuk menjadi hipertensi di kemudian hari cukup tinggi. Hipertensi diakibatkan oleh interaksi gen yang kompleks dan faktor lingkungan. Berbagai gen yang sering ditemukan sedikit berpengaruh pada tekanan darah, sudah diidentifikasi, demikian juga beberapa gen yang jarang yang berpengaruh besar pada tekanan darah tetapi dasar genetik dari hipertensi masih belum sepenuhnya dimengerti. Beberapa faktor lingkungan mempengaruhi tekanan darah. Faktor gaya hidup yang menurunkan tekanan darah di antaranya mengurangi asupan garam dalam makanan, meningkatkan konsumsi buah-buahan dan produk rendah lemak (Pendekatan Diet untuk Menghentikan Hipertensi (diet DASH)). Olah Raga, penurunan berat badan dan menurunkan asupan alkohol juga membantu menurunkan tekanan darah. Kemungkinan peranan faktor lain seperti stres, konsumsi kafein, dan defisiensi Vitamin D kurang begitu jelas. Resistensi insulin, yang umum ditemukan pada obesitas dan merupakan komponen dari sindrom X (atau sindrom metabolik), juga diduga ikut berperan dalam mengakibatkan hipertensi. Studi terbaru juga memasukkan kejadian-kejadian pada awal kehidupan (contohnya, berat lahir rendah, ibu merokok, dan kurangnya air susu ibu) sebagai faktor risiko bagi hipertensi esensial dewasa. Namun, mekanisme yang menghubungkan paparan ini dengan hipertensi dewasa tetap tidak jelas.
2. Hipertensi sekunder
Hipertensi
sekunder terjadi akibat suatu penyebab yang diketahui. Penyakit ginjal adalah
penyebab sekunder tersering dari hipertensi. Hipertensi juga bisa disebabkan
oleh kondisi endokrin, seperti sindrom Cushing, hipertiroidisme, hipotiroidisme, akromegali, sindrom
Conn
atau hiperaldosteronisme, hiperparatiroidisme, dan feokromositoma. Penyebab lain dari hipertensi sekunder di
antaranya obesitas, henti nafas saat tidur, kehamilan, koarktasio aorta, konsumsi akar manis (licorice) yang berlebihan, serta obat resep,
obat herbal, dan obat-obat terlarang. Adapun lagi penyebab dari hipertensi sekunder yaitu
:
a. Stenosis
arteri renalis
Stenosis arteri renalis ini memerangi aliran darah ginjal dan laju
filtrasi glomerulus (LFG), menstimulasi pelepasan rennin dan produksi
angiotensin II. Angiotensin II menyebabkan hipertensi melalui fase konstriksi
dan stimulasi pelepasan aldosteron dan retensi natrium. Jika kedua ginjal
terkena, hipervolemia dan hipertensi akhirnya mengembalikan perfusi ginjal dan
kadar rennin sedikit turun. Jika salah satu ginjal normal, hipertensi akan
meningkatkan LFG. Hal ini memacu eksresi natrium oleh ginjal yang sehat, namun
perfusi pada ginjal yang mengalami stenosis tetap kurang dan terus menghasilkan
kadar rennin yang sangat tinggi.
b. Hiperaldosteronisme
primer
Hiperaldosteronisme primer mencakup satu sampai dua persen dari semua
kasus hipertensi. Kelebihan aldosteron meningkatkan retensi natrium dan sekresi
kalium oleh ginjal. Hipervolemia yang terjadi menyebabkan hipertensi. Produksi
rennin disupresi karna tekanan perfusi ginjal dan penyampaian nantrium klorida
ke macula densal meningkat.
c. Penyakit
ginjal interinsik
Setiap penyakit ginjal dapat menyebabkan hipertensi.
Gangguan ginjal berat mengurangi eksresi natrium serta menyebaban hipervolemia
dan hipertensi, yang bersifat ‘sensitif terhadap garam’ karna hipertensi
meningkat seiring dengan asupan garam. Pada gangguan ginjal ringan hipoperfusi
ginjal yang dipersepsi memacu sekresi rennin dan vasokontriksi yang di mediasi
oleh angiotensin II. Hipertensi ini tidak sensitive terhadap garam dan disebut
resisten garam.
E. Mekanisme Garam Menyebabkan Hipertensi
garam menyebabkan tekanan darah seseorang.
Jika kadar garam dalam
tubuh kita tinggi, maka otomatis tubuh akan berusaha menetralkan, yaitu dengan
cara mengencerkannya. Caranya adalah dengan air, melalui dua proses mekanisme:
1. Kadar garam yang tinggi
akan merangsang pusat haus di otak, sehingga seseorang akan minum air dengan
kadar lebih banyak. (cepat haus)
2. Kadar garam yang
tinggi juga menyebabkan pelepasan hormon antidiuretik, yaitu hormon yang
menyebabkan ginjal menyerap kembali sebagian besar air yang telah disaring,
sebelum dikeluarkan menjadi air kemih. Sehingga menjadikan sejumlah besar air
masuk kembali ke dalam pembuluh darah. Kedua mekanisme diatas
menyebabkan volume darah di dalam tubuh bertambah. Itulah yang menyebabkan
tekanan darah dalam tubuh kita meningkat.
Salah satu cara
bagaimana menjaga agar tekanan darah dalam tubuh stabil, yaitu dengan
mengkonsumsi makanan yang menandung potassium, karena potassium dalam tubuh
akan bereaksi untuk membuang sodium (yang ada dalam garam), sehingga dapat menurunkan
kadar garam dalam tubuh. Potasium banyak terdapat pada buah-buahan dan
sayur-sayuran.
F. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia banyaknya penderita
Hipertensi diperkirakan 15 juta orang tetapi hanya 4% yang merupakan hipertensi
terkontrol. Prevalensi 6-15% pada orang dewasa, 50% diantaranya tidak menyadari
sebagai penderita hipertensi sehingga mereka cenderung untuk menjadi hipertensi
berat karena tidak menghindari dan tidak mengetahui factor risikonya, dan 90%
merupakan hipertensi esensial. Saat ini penyakit degeneratif dan kardiovaskuler
sudah merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Diperkirakan sekitar 80 %
kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang dari sejumlah 639 juta
kasus di tahun 2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025.
Prediksi ini didasarkan pada angka penderita hipertensi saat ini dan
pertambahan penduduk saat ini. Angka-angka prevalensi hipertensi di Indonesia
telah banyak dikumpulkan dan menunjukkan di daerah pedesaan masih banyak
penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Baik dari segi
case-finding maupun penatalaksanaan pengobatannya jangkauan masih sangat
terbatas dan sebagian besar penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan.
Prevalensi terbanyak berkisar antara 6 sampai dengan 15% tetapi angka-angka
ekstrim rendah seperti di Ungaran, Jawa Tengah 1,8%; Lembah Balim Pegunungan
Jaya Wijaya, Irian Jaya 0,6%; dan Talang Sumatera Barat 17,8%. Nyata di sini,
dua angka yang dilaporkan oleh kelompok yang sama pada 2 daerah pedesaan di
Sumatera Barat menunjukkan angka yang tinggi. Oleh sebab itu perlu diteliti
lebih lanjut, demikian juga angka yang relatif sangat rendah.
Survei penyakit jantung pada usia
lanjut yang dilaksanakan Boedhi Darmojo, menemukan prevalensi hipertensi tanpa
atau dengan tanda penyakit jantung hipertensi sebesar 33,3% (81 orang dari 243
orang tua 50 tahun ke atas). Wanita mempunyai prevalensi lebih tinggi dari pada
pria (p¬0,05). Dari kasus-kasus tadi, ternyata 68,4% termasuk hipertensi ringan
(diastolik 95¬104 mmHg), 28,1% hipertensi sedang (diastolik 105¬129 mmHg) dan
hanya 3,5% dengan hipertensi berat (diastolik sama atau lebih besar dengan 130
mmHg).
G. Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi
(JNC7)[2]
|
Tekanan
sistolik
|
Tekanan
diastolik
|
||
mmHg
|
kPa
|
|||
Normal
|
90–119
|
12–15,9
|
60–79
|
8,0–10,5
|
Pra-hipertensi
|
120–139
|
16,0–18,5
|
80–89
|
10,7–11,9
|
Hipertensi
Derajat 1
|
140–159
|
18,7–21,2
|
90–99
|
12,0–13,2
|
Hipertensi
Derajat 2
|
≥160
|
≥21,3
|
≥100
|
≥13,3
|
≥140
|
≥18,7
|
<90
|
<12,0
|
1. Dewasa
Pada orang berusia 18 tahun ke atas, hipertensi didefinisikan sebagai pengukuran tekanan darah sistolik dan/atau diastolik yang terus-menerus melebihi nilai normal yang dapat diterima (saat ini sistolik 139 mmHg, diastolik 89 mmHg: lihat tabel — Klasifikasi (JNC7)). Bila pengukuran diperoleh dari pemantauan ambulatori 24 jam atau pemantauan di rumah, digunakan batasan yang lebih rendah (sistolik 135 mmHg atau diastolik 85 mmHg).[3] Beberapa pedoman internasional terbaru tentang hipertensi juga telah membuat kategori di bawah kisaran hipertensi untuk menunjukkan risiko yang berkelanjutan pada tekanan darah yang lebih tinggi dari kisaran normal. JNC7 (2003)[2] menggunakan istilah pra-hipertensi untuk tekanan darah dalam kisaran sistolik 120–139 mmHg dan/atau diastolik 80–89 mmHg,
sedangkan Pedoman ESH-ESC (2007)[4] dan BHS IV (2004)[5] menggunakan kategori optimal, normal, dan normal tinggi untuk membagi tekanan sistolik di bawah 140 mmHg dan diastolik di bawah 90 mmHg. Hipertensi juga digolongkan lagi sebagai berikut: JNC7 membedakan hipertensi derajat I, hipertensi derajat II, dan hipertensi sistolik terisolasi. Hipertensi sistolik terisolasi mengacu pada peningkatan tekanan sistolik dengan tekanan diastolik normal dan umumnya terjadi pada kelompok usia lanjut.[2] Pedoman ESH-ESC (2007)[4] dan BHS IV (2004),[5] mendefinisikan hipertensi derajat ketiga (derajat III) untuk orang dengan tekanan darah sistolik di atas 179 mmHg atau tekanan diastolik di atas 109 mmHg. Hipertensi tergolong “resisten” bila [[Obat farmasi|obat-obatan] tidak mengurangi tekanan darah menjadi normal.[2]
2. Neonatus dan bayi
Hipertensi
pada neonatus jarang terjadi, dan hanya
terjadi pada sekitar 0,2 sampai 3% neonatus. Tekanan darah tidak diukur secara
rutin pada bayi baru lahir yang sehat.[6] Hipertensi lebih umum terjadi
pada bayi baru lahir berisiko tinggi. Berbagai faktor, seperti usia
gestasi,
usia pascakonsepsi, dan berat badan lahir perlu dipertimbangkan ketika
memutuskan apakah tekanan darah termasuk normal pada neonatus.
3. Anak dan remaja
Hipertensi
cukup umum terjadi pada anak dan remaja (2–9% bergantung pada usia, jenis
kelamin, dan etnisitas)[7] dan dikaitkan dengan risiko
jangka panjang mengalami kesehatan yang buruk.[8] Rekomendasi saat ini adalah
agar anak di atas usia tiga tahun diperiksa tekanan darahnya kapanpun mereka
melakukan kunjungan atau pemeriksaan rutin. Tekanan darah tinggi baru
dipastikan setelah kunjungan berulang sebelum menyatakan seorang anak mengalami
hipertensi.[8] Tekanan darah meningkat
seiring usia pada masa kanak-kanak, dan pada anak, hipertensi didefinisikan
sebagai rerata tekanan darah sistolik dan diastolik yang pada tiga atau lebih
waktu yang berbeda, sama dengan atau lebih tinggi dari persentil ke-95 yang
sesuai untuk jenis kelamin, usia, dan tinggi badan anak. Pra-hipertensi pada
anak didefinisikan sebagai rerata tekanan darah sistolik dan diastolik yang
lebih besar atau sama dengan persentil ke-90, tapi lebih kecil dari persentil
ke-95.[8] Pada remaja, diusulkan bahwa
hipertensi dan pra-hipertensi didiagnosis dan digolongkan dengan menggunakan
kriteria dewasa.
H.
Patofisiologi
Bagi kebanyakan orang dengan
hipertensi esensial (primer), peningkatan resistensi terhadap aliran darah (resistensi perifer total) bertanggung jawab atas
tekanan yang tinggi itu sementara curah
jantung
tetap normal. Ada bukti bahwa beberapa orang muda yang menderita prahipertensi atau “hipertensi perbatasan”
memiliki curah jantung yang tinggi, denyut jantung meningkat, dan resistensi
perifer yang normal. Kondisi ini disebut sebagai hipertensi perbatasan
hiperkinetik. Para penderita ini mengembangkan fitur yang khas dari hipertensi
esensial tetap di kemudian hari saat curah jantung menurun dan resistensi
perifer meningkat seiring bertambahnya usia. Masih diperdebatkan apakah pola
ini biasa dialami oleh semua orang yang pada akhirnya mengalami hipertensi. Peningkatan
resistensi perifer pada hipertensi tetap terutama disebabkan oleh penyempitan struktur
arteri dan arteriol kecil. Penurunan jumlah atau kepadatan pembuluh kapiler
juga bisa ikut berperan dalam resistensi perifer. Hipertensi juga dikaitkan
dengan penurunan kelenturan vena perifer, yang bisa meningkatkan venous return
(volume darah yang kembali ke jantung), meningkatkan preload jantung, dan akhirnya menyebabkan disfungsi diastolik. Masih belum jelas apakah peningkatan
konstriksi aktif pembuluh darah memegang peranan dalam hipertensi esensial.
Tekanan
nadi
(perbedaan antara tekanan darah sistolik dan diastolik) sering meningkat pada
orang lanjut usia dengan hipertensi. Pada keadaan ini dapat terjadi tekanan
sistolik sangat tinggi di atas normal, tetapi tekanan diastolik mungkin normal
atau rendah. Kondisi ini disebut hipertensi sistolik terisolasi.[40] Tekanan nadi yang tinggi pada
orang lanjut usia dengan hipertensi atau hipertensi sistolik terisolasi
disebabkan karena peningkatan kekakuan
arteri,
yang biasanya menyertai penuaan dan dapat diperberat oleh tekanan darah tinggi.[41]Banyak mekanisme yang sudah
diajukan sebagai penyebab peningkatan resistensi yang ditemukan dalam sistem
arteri pada hipertensi. Sebagian besar bukti menunjukkan keterlibatan salah
satu atau kedua penyebab beriku:
·
Gangguan dalam penanganan
garam dan air pada ginjal, khususnya gangguan sistem
renin-angiotensin intrarenal[42]
Mekanisme tersebut tidak berdiri
sendiri dan tampaknya keduanya ikut berperan sampai batas tertentu dalam
kebanyakan kasus hipertensi esensial. Juga diduga bahwa disfungsi endotel (gangguan fungsi dinding pembuluh
darah) dan peradangan vaskular juga ikut berperan
dalam meningkatkan resistensi perifer dan kerusakan pembuluh darah pada
hipertensi.[44][45]
I. Diagnosis
Pemeriksaan yang dilakukan pada
hipertensi
|
|
Sistem
|
Pemeriksaan
|
Lain-lain
|
|
Sources: Harrison's principles of
internal medicine others
|
Diagnosis hipertensi ditegakkan saat
pasien menderita tekanan darah tinggi secara persisten. Biasanya,[3] untuk menegakkan diagnosis
diperlukan tiga kali pengukuran sfigmomanometer yang berbeda dengan interval
satu bulan. Pemeriksaan awal pasien dengan hipertensi mencakup anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap. Dengan tersedianya
pemantauan tekanan darah ambulatori 24 jam dan alat pengukur
tekanan darah di rumah, demi menghindari kekeliruan diagnosis pada pasien
dengan hipertensi white coat
(jenis
hipertensi yang disebabkan oleh stres saat bertemu dokter atau berada dalam
suasana medis) telah dihasilkan suatu perubahan protokol. Di Inggris, praktik
terbaik yang dianjurkan saat ini adalah dengan melakukan follow-up satu kali
hasil pengukuran tekanan darah yang tinggi di klinik dengan pengukuran
ambulatori. Follow-up juga dapat dilakukan, walaupun kurang ideal, dengan
memonitor tekanan darah di rumah selama kurun waktu tujuh hari.
Sekali diagnosis telah ditegakkan,
dokter berusaha mengindentifikasi penyebabnya berdasarkan faktor risiko dan
gejala lainnya, bila ada. Hipertensi sekunder lebih sering ditemukan pada anak usia
prapubertas dan sebagian besar kasus disebabkan oleh penyakit ginjal. Hipertensi primer atau
esensial lebih umum pada orang dewasa dan memiliki berbagai faktor risiko, di
antaranya obesitas dan riwayat hipertensi dalam keluarga.[53]Pemeriksaan laboratorium juga
dapat dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab hipertensi
sekunder, dan untuk menentukan apakah hipertensi menyebabkan kerusakan pada
jantung, mata, dan ginjal. Pemeriksaan tambahan untuk diabetes dan kadar kolesterol tinggi dilakukan karena kondisi ini merupakan
faktor risiko terjadinya penyakit jantung dan mungkin memerlukan
penanganan.
Kadar kreatinin darah diukur untuk menilai
adanya gangguan ginjal, yang mungkin merupakan penyebab atau akibat dari
hipertensi. Kadar kreatinin darah saja dapat memberikan dugaan yang terlalu
tinggi untuk laju filtrasi glomerulus. Panduan terkini menganjurkan
penggunaan rumus prediktif seperti formula Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) untuk memperkirakan
laju filtrasi glomerulus (eGFR).[54] eGFR juga dapat memberikan
nilai awal/dasar fungsi ginjal yang dapat digunakan untuk memonitor efek
samping obat antihipertensi tertentu pada fungsi ginjal. Pemeriksaan protein pada sampel urin digunakan
juga sebagai indikator sekunder penyakit ginjal. Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG/ECG) dilakukan untuk
memeriksa tanda-tanda adanya beban yang berlebihan pada jantung akibat tekanan
darah tinggi.
Pemeriksaan ini juga dapat menunjukkan
adanya penebalan dinding jantung (hipertrofi ventrikel kiri) atau tanda bahwa jantung
pernah mengalami gangguan ringan seperti serangan jantung tanpa gejala (silent
heart attack). Pemeriksaan foto Röntgen dada atau ekokardiogram juga dapat dilakukan untuk
melihat tanda pembesaran atau kerusakan pada jantung.
J. KOMPLIKASI
a. Komplikasi ginjal
Mikroalbuminuria dan proteinuria dipstick merupakan
tanda awal nefropati hipertensif. Pengendalian tekanan darah memperlambat laju
kerusakan ginjal. Dampak primernya adalah kerusakan pada pembuluh darah ginjal
akibat tekanan yang mengingkat. Kerusakan pada pembuluh resisten ini membuat
endotel kapiler glomerulus terkena hipertensi yang merusak.
b. Komplikasi kardiovaskular
Resistensi vascular yang tinggi membuat jantung
teregang dan menyebabkan hipertopi ventrikel kiri. Hipertensi juga meningkatkan
aterosklerosis arteri.
c. Hipertensi maligna
Ini merupakan
hipertensi berat dengan perubahan retina dan kerusakan ginjal. Keadaan ini bisa
baru terjadi atau merupakan komplikasi dari hipertensi esensial atau sekunder.
Gambaran utamanya adalah kerusakan pembuluh darah ginjal, biasanya disebabkan
oleh hipertensi. Kerusakan ini mengurangi aliran darah ginjal, memicu sekresi
rennin, yang semakin memacu hipertensi dan retensi natrium. Pembuluh yang rusak
dapat menganggu sel darah merah, meyebabkan anemia hemolitik mikro angiopatik.
K. Pencegahan
Cukup banyak orang yang mengalami
hipertensi tetapi tidak menyadarinya. Diperlukan tindakan yang mencakup seluruh
populasi untuk mengurangi akibat tekanan darah tinggi dan meminimalkan
kebutuhan terapi dengan obat antihipertensi. Dianjurkan perubahan gaya hidup
untuk menurunkan tekanan darah, sebelum memulai terapi obat. Pedoman British
Hypertension Society 2004 mengajukan perubahan gaya hidup yang konsisten dengan
pedoman dari US National High BP Education Program tahun 2002 untuk
pencegahan utama bagi hipertensi sebagai berikut:
1. Menjaga
berat badan normal (misalnya, indeks massa tubuh 20–25 kg/m2).
2. Mengurangi
asupan diet yang mengandung natrium sampai <100 mmol/ hari (<6 g
natrium klorida atau <2,4 g natrium per hari). Banyak yang tidak menyadari
bahwa makanan ringan
dan juga mie instan
banyak mengandung garam, demikian juga vetsin
yang sebenarnya adalah monosodium glutamate, karena sodium
sebenarnya adalah nama lain dari natrium.
3. Melakukan
aktivitas fisik aerobik secara teratur, misalnya jalan cepat (≥30 menit per
hari, pada hampir setiap hari dalam seminggu).
4. Batasi
konsumsi alkohol tidak lebih dari 3 unit/hari pada laki-laki dan tidak lebih
dari 2 unit/hari pada perempuan.
5. Mengonsumsi
makanan yang kaya buah dan sayuran (misalnya, sedikitnya lima porsi per hari).
6. Lakukan pengecekan tekanan darah
secara rutin.
Beberapa orang yang memiliki sistem
metabolisme tubuh yang buruk, biasanya tidak akan mengalami perubahan yang
signifikan bahkan setelah menjalankan hal-hal di atas. Perubahan
gaya hidup yang efektif dapat menurunkan tekanan darah setara dengan
masing-masing obat antihipertensi. Kombinasi dari dua atau lebih perubahan gaya
hidup dapat memberikan hasil lebih baik.
L. Masyarakat dan budaya
1. Kesadaran
Grafik
menunjukkan perbandingan
prevalensi
kesadaran, pengobatan dan
World
Health Organization
telah mengidentifikasi hipertensi, atau tekanan darah tinggi, sebagai penyebab
utama mortalitas kardiovaskuler. World Hypertension League (WHL), sebuah organisasi yang menaungi 85
organisasi masyarakat dan liga hipertensi nasional, menyatakan bahwa lebih dari
50% orang yang terkena hipertensi di seluruh dunia tidak menyadari kondisi
mereka.[94] Untuk mengatasi masalah ini,
WHL merintis suatu kampanye hipertensi di seluruh dunia pada 2005 dan
menetapkan tanggal 17 Mei sebagai Hari Hipertensi Dunia (WHD). Selama tiga tahun terakhir, semakin banyak organisasi
masyarakat dari berbagai negara yang terlibat dalam WHD dan mulai melakukan
kegiatan inovatif untuk menyampaikan pesan mereka kepada masyarakat. Pada 2007,
tercatat ada 47 negara anggota WHL yang berpartisipasi.
Selama
pekan WHD, semua negara ini bermitra dengan pemerintah setempat, organisasi
profesi, organisasi non-pemerintah, dan industri swasta untuk mempromosikan
kesadaran mengenai hipertensi tersebut melalui beberapa media dan kampanye masyarakat. Dengan
menggunakan media massa seperti Internet dan televisi, pesan tersebut menjangkau
lebih dari 250 juta orang. Dengan semakin meningkatnya momentum ini dari tahun
ke tahun, WHL yakin bahwa hampir semua dari sekitar 1,5 miliar orang yang
terkena tekanan darah tinggi dapat dijangkau.
2. Segi ekonomi
Tekanan
darah tinggi adalah masalah medis kronis tersering yang membawa orang berobat
ke tempat pelayanan kesehatan primer di Amerika Serikat. American Heart
Association memperkirakan biaya kesehatan langsung dan tidak langsung dari
tekanan darah tinggi sebesar $76,6 miliar pada 2010. Di Amerika Serikat, 80%
orang yang mengalami hipertensi menyadari kondisi mereka dan 71% mengonsumsi
obat antihipertensi. Namun, hanya 48% orang yang mengetahui bahwa mereka
mengalami hipertensi, melakukan pengendalian hipertensi secara adekuat. Diagnosis,
pengobatan, atau kontrol tekanan darah tinggi yang tidak cukup dapat mengganggu
tata laksana hipertensi. Penyedia layanan kesehatan menghadapi banyak kendala
dalam mencapai pengendalian tekanan darah, termasuk penolakan terhadap
penggunaan beberapa obat untuk mencapai target tekanan darah yang diharapkan.
Pasien juga mengalami kesulitan mematuhi jadwal minum obat dan mengubah gaya
hidup. Meskipun demikian, target tekanan darah sangat mungkin dapat dicapai.
Menurunkan tekanan darah berarti mengurangi biaya untuk perawatan medis yang
lebih lanjut.
M.
Jurnal
1) JURNAL
(Perbandingan Faktor Resiko Terjadinya Kejadian
Hipertensi Pada Masyarakat Petani Dan Pegawai Kantor
Di Desa Trayu) Saptorini Murdyastuti1, Yunita Wulandari, Prodi S-1 Keperawatan, STIKes Kusuma Husada Surakarta
Hipertensi Pada Masyarakat Petani Dan Pegawai Kantor
Di Desa Trayu) Saptorini Murdyastuti1, Yunita Wulandari, Prodi S-1 Keperawatan, STIKes Kusuma Husada Surakarta
Faktor umur, status perkawinan, tingkat pengeluaran
perkapita, aktivitas fisik sedang, konsumsi makanan asin, makanan berlemak,
minuman beralkohol dan stress berhubungan nyata positif dengan hipertensi;
tingkatpendidikan, rata-rata batang rokok yang dihisap per hari dan status gizi
berhubungan nyata negative dengan hipertensi (Smeltzer, 2007).
Hipertensi yang saat ini merupakan penyakit yang umum
terjadi dimasyarakat kita, seringkali tidak disadari karena tidak mempunyai
gejala khusus. Padahal apabila tidak ditangani dengan baik, hipertensi
mempunyai resiko besar untuk meninggal karena komplikasi kardivaskular seperti
stroke, jantung, atau gagal ginjal (Sutanto, 2010).
Berikut ini penjelasan mengenai faktor-faktor resiko
hipertensi: Faktor genetik. Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan
menyebabkan keluarga itu mempunyai resiko menderita hipertensi. Hal ini
berkaitan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara
potassium terhadap sodium. Seserang dengan orangtua penderita hipertensi
mempunyai resiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi daripada orang
yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi(Nurahmani,2010 ).
Umur
Insidensi
hipertensi meningkat seiring dengan pertambahan usia. Seseorang yang berumur diatas 60
tahun, 50 - 60 % diantaranya mempunyai tekanan darah lebih besar atau sama dengan
140/90 mmHg. Hal itu merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi sejalan dengan
pertambahan usia.
Jenis Kelamin
Lelaki
mempunyai resiko lebih tinggi untuk menderita hipertensi lebih awal. Lelaki juga mempunyai resiko
lebih besar terhadap morbiditas dan mortalitas cardiovaskuler. Sedangkan
diatas umur limapuluh tahun, hipertensi lebih banyak terjadi pada perempuan(Purnomo,
2007).
Stress
Stress
akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung. Sehingga akan
menstimulasi aktifitas saraf simpatetik. Adapun stress ini dapat berhubungan dengan
pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik personal.
Obesitas
Penelitian
epidemilogi menyebutkan adanya hubungan antara berat badan dengan tekanan darah, baik
pada pasoen hipertensi maupun pada normotensi. Pada populasi yang tidak ada
peningkatan berat badan seiring pengkatan umur, tidak
dijumpai
peningkatan tekanan darah sesuai peningkatan umur. Obesitas pada tubuh bagian atas, berhubungan
dengan peningkatan jumlah lemak pada bagian perut.
Nutrisi
Sodium
adalah penyebab dari hipertensi esensial, asupan garam yang tinggi akan menyebabkan pengeluaran
berlebihan dari hormon natriouretik yang secara tidak langsung akan
meningkatkan tekanan darah. Sodium secara eksperimental menunjukkan kemampuan untuk
menstimulasi mekanisme vasopressor pada susunan syaraf pusat. Defisiensi
potasium akan berimplikasiterhadap terjadinya hipertensi (Arif. 2007).
2) JURNAL
(Kelebihan Berat Badan Sebagai Prediksi Risiko Hipertensi Pada Sopir Bus) André
de Camargo Smolarek-Brazil
Hasil
penelitian menunjukkan prevalensi individu (70,7%) dengan BMI tinggi dan, dalam
kasus hipertensi, prevalensi 24% yang terdeteksi, meskipun lebih rendah dari
BMI, adalah tetap tinggi. Korelasi Pearson diverifikasi hubungan antara BMI dan
tekanan darah rata-rata bus driver, di mana r = 0,414 dengan p <0,05. di
atas memperkuat hipotesis bahwa BMI secara langsung terkait BP, atau lebih
tepatnya, semakin besar BMI, semakin tinggi BP. Karena sebagian besar mata
pelajaran kelebihan berat badan sudah dipamerkan hipertensi, seperti Tabel 2
menunjukkan.
3)
JURNAL (Hipertensi, diabetes mellitus, kelebihan berat badan dan obesitas pada
karyawan di bawah transisi kesehatan di kereta api perusahaan di Kongo
Brazzaville
Ada 231 orang (90,6%) dan 24
perempuan (9,4%). itu usia rata-rata
adalah 45 ± 13 tahun (kisaran 19 dan 63 tahun). Di antara mereka, 79 tinggal di
daerah pedesaan (31%) dan 52 adalah eksekutif senior (20,4%). Karakteristik
epidemiologi lain dilaporkan dalam Tabel 1. Tabel 2 menyajikan karakteristik
variabel klinis pada populasi ini.
Prevalensi kelebihan berat badan
adalah 40,3% (n = 103). itu Faktor-faktor yang berhubungan dengan kelebihan
berat badan univariat adalah perempuan seks, dan menjadi senior eksekutif
(Tabel 3). kegemukan tercatat pada 19 kasus (7,5%). Jenis kelamin perempuan,
urban tinggal dan posisi eksekutif secara signifikan terkait dengan obesitas
(Tabel 3).
Frekuensi diabetes adalah 3,5% (95%
CI 1,6-6,6) atau 9 kasus. frekuensi hipertensi adalah 29,4% (95% CI 23,9-35,4)
atau 75 kasus. Dalam analisis univariat, riwayat keluarga hipertensi, posisi
senior, kelebihan berat badan, obesitas, dan diabetes mellitus secara
signifikan terkait dengan hipertensi
(Tabel
4).
Dalam
regresi logistik, faktor
penentu independen
hipertensi adalah kelebihan
berat badan dan obesitas (Tabel
5).
Table 1. General
characteristics of all participants.
n
(%)
Female sex 24
(9.4)
Senior executive 52 (20.4)
Rural area 79
(31)
Excessive alcohol intake 177 (69.7)
Current smoking 43 (16.9)
Diabetes in parents 26 (10.2)
Hypertension in parents 41
(16.1)
ReFrVe* 192
(75.3)
Physical inactivity 100 (39.2)
*ReFrVe:
Regular consumption of fruit and vegetables.
Table
2. Clinicals and biologicals variables of
population
Means
± standard deviation (range)
Age (years) 45 ± 13 (19 - 63)
weight
(Kg) 74.2 ± 9.6 (56 - 114)
Height (cm) 172.5 ± 5 (158 - 195)
BMI (Kg/m2) 24.8 ± 3 (19 - 38)
SBP
(mm Hg) 133.3 ± 22.2 (90 -
213)
DBP (mm Hg) 84.7 ± 12.4 (61 - 127)
Glycaemia
(g/dL)
104.3 ± 22.4 (75 - 218)
BMI:
Body mass index; SBP: Systolic blood pressure; DBP: Diastolic blood pressure.
4) JURNAL
(Faktor Risiko Hipertensi pada Wanita Pekerja dengan Peran Ganda Kabupaten
Bantul Tahun 2011
Tabel 1 diketahui
bahwa karakteristik subyek penelitian pada kelompok kasus dan kontrol terbanyak
berumur 41-50 tahun (55,6%), dan yang paling sedikit terdapat pada kelompok
kasus dan control yang berumur 20-30 tahun (15,7%). Tingkat pendidikan pada
kelompok kasus yang terbanyak adalah SMA (35,2%) dan paling sedikit adalah
tidak sekolah (1,9%), untuk kelompok kontrol dengan tingkat pendidikan yang
terbanyak adalah diploma/sarjana (39,8%) dan paling sedikit adalah tidak
sekolah (4,6%). Jenis pekerjaan yang terbanyak untuk kelompok kasus dan kontrol
adalah PNS (33,9%) dan paling sedikit adalah pedagang (11,1%).
Tabel 2, menunjukkan
bahwa variabel aktivitas fisik, stress psikososial, obesitas, pendidikan dan
penggunaan alat kontrasepsi mempunyai hubungan yang signifikan terhadap
kejadian hipertensi (p<0.005). Berdasarkan
Tabel 3 menunjukkan bahwa dilakukan empat tahap pemodelan pada uji
multivariabel. Pada tahap pemodelan ini akan dipilih model yang signifikan dan
memiliki kemaknaan biologi. Pada model 2 dan 3 terlihat bahwa pendidikan dan penggunaan alat kontrasepsi merupakan
efek modifikasi. Melihat model 4, faktor risiko hipertensi pada wanita pekerja
peran ganda di Kabupaten Bantul dengan melibatkan variabel luar adalah
aktivitas fisik (OR=5.69, 95%CI=2.248-14.448), stres psikososial (OR=3.28,
95%CI=1.051-10.263), obesitas (OR=2.78, 95%CI=1.061-7.311), riwayat keluarga
(OR=2.19, 95%CI=1.051-4.587), pendidikan (OR=4.62, 95%CI=1.624-13.161),
penggunaan alat kontrasepsi (OR=3.99, 95%CI=1.159-13.763), diperoleh R2 sebesar
44.3%, berarti bahwa factor risiko tersebut mempunyai kemampuan untuk
memprediksi kejadian hipertensi pada wanita pekerja peran ganda sebesar 44.3%,
sedangkan sisanya sebesar 55.7% disebabkan oleh faktor risiko lain yang tidak
diteliti pada penelitian ini.
5) JURNAL
(Gangguan Napas Saat TIdur dan Hipertensi di Pekerja Baja Jepang)
Prevalensi
sebuah ODI 3% dari ≥ 15 adalah 18,1% di antara peserta penelitian ini. Tabel 1
menunjukkan fisiologis dan karakteristik perilaku dari subyek sesuai dengan
seekor kucing-egories tingkat ODI 3%. Dari 37 peserta dengan hipertensi , 32 (
86,5 % ) diklasifikasikan Tahap 1 hiper - ketegangan ( SBP = 140-159 mmHg atau
DBP = 90-99 mmHg ) , 5 ( 13,5 % ) diklasifikasikan Tahap 2 hipertensi( SBP ≥
160 mmHg atau DBP ≥ 100 mmHg ) yang didefinisikan oleh The JNC 7 Report 5 ).
Semua dari mereka disarankan untuk mengubah gaya hidup mereka atau
berkonsultasi dengan peduli physi - cians . Ada perbedaan yang signifikan dalam
nilai rata-rata usia , BMI , SBP , dan DBP , dan tidak ada signifikan -
Perbedaan tidak bisa di nilai rata-rata asupan etanol dan durasi tidur biasa.
Tabel
2 menunjukkan rasio multivariat yang kemungkinan disesuaikan hipertensi menurut
kategori tingkat ODI 3 % . Odds ratio multivariat hipertensi tinggi ( ≥ 15 ) kategori
tingkat ODI 3 % adalah 2,86 ( 95% confidence Interval , 1,23-6,66 ) , relatif
terhadap yang rendah ( < 15 % ) 3 % ODI kategori .
Seperti
dirangkum dalam Tabel 3 , keduanya berarti SBP dan DBP nilai-nilai yang
ditemukan menjadi signifikan lebih besar untuk pekerjaan - ers dengan kategori
yang lebih tinggi dari 3 % ODI dibandingkan mereka dengan kategori rendah ( p
<0,01 ) setelah penyesuaian untuk con - pendiri variabel . Ketika kita
membagi peserta oleh jadwal kerja, para pekerja shift hanya menunjukkan
signifikan- Perbedaan tidak bisa nilai DBP antara tinggi dan kategori yang
lebih rendah dari 3% ODI (p <0,02). Sebaliknya, pekerja non-shift memiliki
nilai SBP signifikan lebih besar (p <0,02) dan nilai DBP hampir signifikan
lebih besar (p <0,06) terkait dengan kategori yang lebih tinggi dari 3% ODI.
Tabel
1. Karakteristik peserta sesuai dengan tingkat ODI 3%
total
|
3% ODI
|
p value
|
||
(N = 249)
|
<15 (N = 204)
|
≥ 15 (N = 45)
|
||
Umur (tahun)
|
44,3 (0,6)
|
43,8 (0,7)
|
46,7 (1,1)
|
0,02
|
BMI (kg/m2)
|
26,2 (0,2)
|
25,8 (0,2)
|
27,9 (0,5)
|
<0,01
|
SBP (mmHg)
|
125,1 (0,9)
|
123,7 (0,9)
|
131,6 (2,1)
|
<0,01
|
DBP (mmHg)
|
77,3 (0,7)
|
76,1 (0,7)
|
82,9 (1,5)
|
<0,01
|
hipertensi (%)
|
37 (14,9)
|
24 (11,8)
|
13 (28,9)
|
<0,01
|
asupan etanol (g / hari)
|
20,8 (1,3)
|
20,5 (1,4)
|
22,3 (3,4)
|
0,6
|
merokok saat ini (%)
|
101 (41,0)
|
80 (39,2)
|
21 (47,0)
|
0,36
|
durasi tidur biasa (h /
hari)
|
6,3 (0,1)
|
6,3 (0,1)
|
6,3 (0,1)
|
0,78
|
pekerja shift, no. (%)
|
95 (38,2)
|
77 (37,7)
|
18 (40,0)
|
0,78
|
pekerjaan kerah biru, no.
(%)
|
146 (58,6)
|
124 (60,8)
|
22 (48,9)
|
0,14
|
Nilai dinyatakan oleh
Means (SE) dan Nomor (%).
Tabel 2. Asosiasi
antara hipertensi dan tingkat ODI 3% (N = 249)
Multivariasi
rasio odds (95% CI)
|
p
value
|
|
3%
ODI ≥ 15
|
2.86
(1,23-6,66)
|
0,02
|
Umur
(tahun)
|
1,00
(0,96-1,04)
|
0,91
|
BMI
(kg/m2)
|
1,07
(0,96-1,20)
|
0,21
|
asupan
etanol (g / hari)
|
1,01
(0,99-1,03)
|
0,25
|
merokok
kebiasaan
|
1,03
(0,49-2,14)
|
0,95
|
durasi
tidur pendek (≤ 5h/day)
|
1,62
(0,58-4,52)
|
0,35
|
shift
kerja
|
0,67
(0,27-1,70)
|
0,40
|
pekerjaan
kerah biru
|
1,45
(0,58-3,63)
|
0,43
|
*
Disesuaikan dengan usia, BMI, asupan etanol, merokok, durasi tidur pendek dan bentuk pekerjaan.
Tabel 3. Nilai rata-rata dari SBP dan DBP sesuai dengan kategori tingkat ODI 3% setelah penyesuaian untuk mencampuradukkan- ing variable
Tabel 3. Nilai rata-rata dari SBP dan DBP sesuai dengan kategori tingkat ODI 3% setelah penyesuaian untuk mencampuradukkan- ing variable
semua
pekerja
|
p
1)
|
pekerja
shift
|
p
2)
|
Pekerja
non-shift
|
p
2)
|
||
(N=249)
|
(N=95)
|
(N=154)
|
|||||
SBP
(mmHg
|
ODI<15
|
123.7
(13.5)
|
125.3
(12.4)
|
122.8
(14.1)
|
|||
<0.01
|
0.18
|
0.02
|
|||||
ODI≥15
|
131.6
(14.3)
|
129.7
(13.1)
|
132.8
(15.1)
|
||||
DBP
(mmHg)
|
ODI<15
|
76.1
(10.3)
|
76.4
(9.9)
|
75.9
(10.5)
|
|||
<0.01
|
0.02
|
0.06
|
|||||
ODI≥15
|
82.9
(10.2)
|
82.5
(8.4)
|
83.1
(11.4)
|
6) JURNAL
(Frekuensi tinggi gangguan pendengaran, kebisingan kerja eksposur dan hipertensi: a cross-sectional
pada pekerja laki-laki)
Data
menunjukkan bahwa frekuensi tinggi gangguan pendengaran adalah biomarker, baik
untuk paparan kebisingan kerja di pesawat pekerja manufaktur . Ambang batas
berarti mendengar melebihi 15 dB pada 4 kHz atau 6 kHz bilateral selama 5 -
periode tahun dikaitkan dengan peningkatan risiko hipertensi secara
signifikan berkorelasi dengan tingkat kebisingan luar telinga dan bisa
mengungkapkan signifikan perbedaan antara kelompok dalam gangguan pendengaran
meskipun mengacaukan dampak penggunaan APD.
7) JURNAL
(Faktor Risiko Kejadian Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkala
Kabupaten Jeneponto Tahun 2012)
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa riwayat keluarga (OR=4,36, 95% CI 2,09-9,10),
perilaku merokok (OR=2,32, 95% CI 1,24-4,35), aktivitas fisik (OR=2,67, 95% CI
1,20-5,90), dan konsumsi garam (OR=4,16, 95% CI 2,16-8,00) merupakan faktor
risiko kejadian hipertensi. Sedangkan konsumsi kopi dalam penelitian ini dengan
(OR=1,56 95% CI 0,52-4,60) merupakan faktor risiko yang tidak bermakna terhadap
kejadian hipertensi. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk rutin
mengontrol tekanan darah, memiliki pola makan dan gaya hidup sehat, olahraga
secara teratur, menghindari rokok, mengurangi konsumsi kopi serta mengkonsumsi
makanan yang rendah garam dan kaya serat seperti sayur dan buah.
8) JURNAL (Hipertensi pada
Pekerja Perusahaan Migas X di Kalimantan Timur, Indonesia
Hipertensi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi sebesar 18,9%.
Seseorang dikatakan menderita hipertensi jika pada saat duduk tekanan sistolik
mencapai >140 mmHg dan atau tekanan
diastolik mencapai >90 mmHg.1 Prevalensi hipertensi
pada umur 15 tahun ke atas tahun 2004 sebesar 14%,2 tahun 2007 meningkat
menjadi 34,9%.3
Jika dilihat dari data penyakit pada pekerja migas
ternyata masalah obesitas juga menjadi sorotan perusahaan ini. Berbagai upaya
promotif dan preventif
telah dilakukan untuk mencegah dan menurunkan
prevalensi penyakit jantung dan pembuluh darah (termasuk hipertensi,
dislipidemia), yaitu dengan menyediakan sarana khusus olah raga seperti
lapangan squash, basket, bulu tangkis, tenis, gym, sepak bola, futsal, dan
renang. Selain penyediaan sarana, perusahaan juga melakukan kegiatan penyuluhan
bagi pekerja, katering penyelenggara makanan serta keluarga pekerja untuk
mempromosikan kesehatan baik kesehatan individu maupun masyarakat.
Hasil analisis
bivariat menunjukkan sebanyak 25% responden menderita hipertensi dan obese
(Tabel 3). Sebagian besar penderita hipertensi dan obese adalah responden yang
berusia >40 tahun. Variabel indeks massa tubuh dan pendidikan merupakan
variable pengganggu (konfounder) dalam hasil penelitian ini. Tingginya proporsi
hipertensi dan obesitas pada pekerja migas sejalan dengan meningkatnya
penderita coronary arterial disease (CAD) dari tahun ke tahun. Data medical
check up tahunan perusahaan menunjukkan terjadi peningkatan jumlah penderita
CAD dari tahun 2003 sebesar 1,32% (2003) dan 3,92% (2004). Meningkatnya jumlah
kasus CAD ini sejalan dengan meningkatnya proporsi faktor risiko seperti
obesitas, dislipidemia dan hipertensi pada pekerja. Ketiga factor risiko ini
potensial untuk berkembang menjadi penyakit jantung koroner.10 Pihak perusahaan
akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit jika masalah kesehatan pekerja tidak
segera ditangani dengan baik.
9) JURNAL
(HUBUNGAN ANTARA KADAR Pb DALAM DARAH DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA OPERATOR
SPBU DI KOTA YOGYAKARTA)
Berdasarkan analisa
hasil penelitian dan pembahsan pada pada penelitian ini maka dapat disimpulkan
bahwa:
1) Rata-rata kadar Pb dalam darah operator
SPBU di kota Yogyakarta sebesar 24,97 μg/dl.
2) Operator SPBU di Kota Yogyakarta yang
menderita hipertensi sebanyak 13 responden (57%).
3) Ada hubungan yang bermakna antara
kadar timbal dengan kejadian hipertensi pada operator SPBU di Kota Yogyakarta
sebesar RR = 2,619 p=0,028 dan 95% CI:0,944-7,625
10) JURNAL
(HUBUNGAN ANTARA KADAR PLUMBUM (Pb) DAN HIPERTENSI
PADA POLISI LALU LINTAS DI KOTA MANADO)
Hasil analisis
univariat menunjukkan bahwa kadar Pb dalam darah secara bermakna mempunyai
hubungan dengan terjadinya hipertensi, dengan nilai OR=6,50 artinya polisi yang
mempunyai kadar Pb dalam darah =6,27 μg/dL mempunyai risiko untuk menderita
hipertensi 6,5 kali lebih besar dibandingkan dengan polisi yang kadar Pb dalam
darah <6,27 μg/dL. Hal ini disebabkan karena adanya Pb dalam darah dapat
menurunkan kemampuan darah mengikat oksigen, mengakibatkan besarnya curah
jantung sehingga terjadi peningkatan tekanan darah sistolik, serta besarnya
resistensi (tahanan) perifer yang menyebabkan peningkatan tekanan darah
diastolik, akhirnya berakibat timbulnya hipertensi.
11) JURNAL
(Jam Kerja dan Laporan Mandiri Hipertensi
Pekerja Orang-orang di California
Pekerja Orang-orang di California
Hasil
dari penelitian ini dengan cross- sectional dan populasi data berbasis
menunjukkan bahwa peningkatan jam kerja
dapat bertindak sebagai faktor risiko hipertensi. Studi ini memiliki
implikasi baik di tingkat individu dan masyarakat. Pada individu tingkat, satu
implikasi untuk penelitian ini adalah kebutuhan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat akan potensi dampak kesehatan yang berbahaya dari jam kerja yang
panjang pada sistem kardiovaskular, terutama di terang sifat asimtomatik
hipertensi.
BAB III
PENUTUP
B.
Kesimpulan
1 Hipertensi (HTN) atau tekanan darah tinggi adalah adalah kondisi
medis kronis
dengan tekanan darah di arteri
meningkat.
2. Hipertensi
adalah faktor resiko
utama untuk stroke,
infark miokard
(serangan jantung), gagal
jantung, aneurisma
arteri (misalnya aneurisma aorta),
penyakit
arteri perifer, dan penyebab penyakit ginjal
kronik.
4. Sedangkan gejala umum yang mungkin
terjadi pada orang dengan tekanan darah tinggi meliputi:
a. Sakit kepala saat bangun tidur yang
kemudian menghilang setelah beberapa jam.
b. Rasa pegal dan tidak nyaman pada
tengkuk.
c. Mudah lelah, lesu, Impoten.
d. Telinga berdenging.
e. Detak jantung berdebar cepat.
f. Pandangan agak kabur, susah tidur,
sakit pinggang, dan mudah menjadi marah.
5. Penyebab
Hipertensi yaitu faktor
genetika, usia, dan jenis kelamin, ada beberapa faktor penyebab lainnya, antara
lain:
a. Stres atau perasaan tertekan.
b. Kegemukan (Obesitas).
c. Kebiasaan merokok.
d. Kurang berolahraga.
e. Kelainan kadar lemak dalam darah
(Dislipidemia).
f. Konsumsi yang berlebihan atas garam,
alkohol, dan makanan yang berlemak tinggi.
g. Kurang mengonsumsi makanan yang
berserat dan diet yang tidak seimbang.
C.
Saran
Hipertensi
merupakan masalah kesehatan global yang membutuhkan perhatian karena dapat
menyebabkan kematian utama di Negara-negara maju maupun Negara berkembang. Data WHO tahun 2000 menunjukkan, di seluruh dunia, sekitar 972
juta orang atau 26,4% penghuni bumi mengidap hipertensi dengan perbandingan
26,6% pria dan 26,1% wanita. Angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2%
di tahun 2025. Dari 972 juta pengidap hipertensi, 333 juta berada di negara
maju dan 639 sisanya berada di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia.
Jadi, untuk mengatasi
penyakit hipertensi termasuk penyakit tidak menular
lainnya, Kemenkes membuat kebijakan yaitu:
1. Mengembangkan dan memperkuat kegiatan deteksi dini
hipertensi secara aktif (skrining)
2. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan
deteksi dini melalui kegiatan Posbindu PTM
3. Meningkatkan
akses penderita terhadap pengobatan hipertensi melalui revitalisasi Puskesmas
untuk pengendalian PTM melalui Peningkatan sumberdaya tenaga kesehatan yang
profesional dan kompenten dalam upaya pengendalian PTM khususnya tatalaksana
PTM di fasilitas pelayanan kesehatan dasar seperti Puskesmas.
DAFTAR
PUSTAKA
Carretero OA, Oparil S (January
2000). "Essential
hypertension. Part I: Definition and etiology". Circulation 101 (3):
329–35. doi:10.1161/01.CIR.101.3.329. PMID 10645931.
Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et
al. (December 2003). "Seventh
report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation,
and Treatment of High Blood Pressure". Hypertension 42 (6):
1206–52. doi:10.1161/01.HYP.0000107251.49515.c2. PMID 14656957.
National Clinical Guidance Centre
(August 2011). "7 Diagnosis
of Hypertension, 7.5 Link from evidence to recommendations". Hypertension (NICE CG 127).
National Institute
for Health and Clinical Excellence. hlm. 102. Diakses 2011-12-22.
Mancia
G, De Backer G, Dominiczak A, et al. (September 2007). "2007
ESH-ESC Practice Guidelines for the Management of Arterial Hypertension:
ESH-ESC Task Force on the Management of Arterial Hypertension". J.
Hypertens. 25 (9): 1751–62. doi:10.1097/HJH.0b013e3282f0580f. PMID 17762635.
Williams
B, Poulter NR, Brown MJ, et al. (March 2004). "Guidelines for
management of hypertension: report of the fourth working party of the British
Hypertension Society, 2004-BHS IV". J Hum Hypertens 18 (3):
139–85. doi:10.1038/sj.jhh.1001683. PMID 14973512.
Dionne JM, Abitbol CL, Flynn JT
(January 2012). "Hypertension in infancy: diagnosis, management and
outcome". Pediatr. Nephrol. 27 (1): 17–32. doi:10.1007/s00467-010-1755-z. PMID 21258818.
Din-Dzietham R, Liu Y, Bielo MV,
Shamsa F (September 2007). "High blood pressure trends in children and
adolescents in national surveys, 1963 to 2002". Circulation 116
(13): 1488–96. doi:10.1161/CIRCULATIONAHA.106.683243. PMID 17846287.
Fisher ND, Williams GH (2005).
"Hypertensive vascular disease". In Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS,
et al.. Harrison's Principles of Internal Medicine (ed. 16th).
New York, NY: McGraw-Hill. hlm. 1463–81. ISBN 0-07-139140-1.
Wong T, Mitchell P (February 2007).
"The eye in hypertension". Lancet 369 (9559): 425–35. doi:10.1016/S0140-6736(07)60198-6. PMID 17276782.
O'Brien,
Eoin; Beevers, D. G.; Lip, Gregory Y. H. (2007). ABC of hypertension.
London: BMJ Books. ISBN 1-4051-3061-X.
loading...
No comments:
Post a Comment
Terimakasih Telah Mengunjungi Blog Ini, Silahkan Berikan Komentar dan Saran Anda