loading...
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Kadar air dalam bahan makanan sangat
mempengaruhi kualitas dan daya simpan dari pangan tersebut. Oleh karena itu,
penentuan kadar air dari suatu bahan pangan sangat penting agar dalam proses
pengolahan maupun pendistribusian mendapat penanganan yang tepat. Penentuan
kadar air dalam makanan dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu metode
pengeringan (dengan oven biasa), metode destilasi, metode kimia, metode khusus
(Anonim,2003).
Kriteria
ikatan air dalam aspek daya awet bahan pangan dapat ditinjau dari kadar air,
konsentrasi larutan, tekanan osmotik, kelembaban relatif berimbang dan
aktivitas air. Kandungan air dalam bahan pangan akan berubah-ubah sesuai dengan
lingkungannya, dan hal ini sangat erat hubungannya dengan daya awet bahan
pangan tersebut. Hal ini merupakan pertimbangan utama dalam pengolahan dan
pengelolaan pasca olah bahan pangan (Purnomo,1995). Selain air, bahan pangan juga
mengandung zat-zat lain yang bermanfaat bagi kesehatan atau biasa disebut
dengan zat-zat gizi. Zat gizi tersebut telah dibuktikan bermanfaat dalam
menjaga atau mengobati satu atau lebih penyakit atau meningkatkan performa
fisiologisnya (Winarno 1990).
Kandungan air dari suatu bahan
pangan perlu diketahui terutama untuk menentukan persentase zat-zat gizi secara
keseluruhan. Jumlah kadar air yang terdapat di dalam suatu bahan pagan sangat
berpengaruh atas seluruh susunan persentase zat-zat gizi secara keseluruhan.
Dengan diketahuinya kandungan air dari suatu bahan pangan, maka dapat diketahui
berat kering dari bahan tersebut yang biasanya konstan
.
Penentuan kadar air suatu bahan
pangan bergantung pada sifat bahan pangan itu sendiri. Penentuan ini terkadang
tidak mudah dilakukan karena terdapat bahan yang mudah menguap pada beberapa
jenis bahan pangan, dan adanya air yang terurai pada bahan pangan, serta
oksidasi lemak pada bahan pangan tersebut. Faktor lain yang mempengaruhi
penentuan kadar air yang tepat yaitu air yang ada dalam bahan pangan terikat
secara fisik dan ada yang secara kimia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Air
Dalam Bahan Pangan
Air bersifat tidak berwarna, tidak berasa dan
tidak berbau pada kondisi standar, yaitu pada tekanan 100 kPa (1 bar) dan
temperature 273,15 K (0ÂșC). Air merupaka pelarut yang kuat, melarutkan banyak
zat kimia. Zat-zat yang larut dengan baik dalam air (misalnya garam-garam)
disebut sebagai zat-zat “hidrofilik” (pencinta air), dan zat-zat yang tidak
mudah tecampur dengan air (misalnya lemak dan minyak), disebut sebagai zat-zat
“hidrofobik” (takut air) (Wulanriky, 2011).
Meskipun
sering diabaikan, air merupakan salah satu unsur penting dalam makanan. Air
sendiri meskipun bukan merupakan sumber nutrien seperti bahan makanan lain,
namun sangat esensial dalam kelangsungan proses biokimia organisme hidup. Salah
satu pertimbangan penting dalam penentuan lokasi pabrik pengolahan bahan
makanan adalah adanya sumber air yang secara kualitatif memenuhi syarat. Dalam
pabrik pengolahan pangan, air diperlukan untuk berbagai keperluan misalnya :
pencucian, pengupasan umbi atau buah, penentuan kualitas bahan (tenggelam atau mengambang),
bahan baku proses, medium pemanasan atau pendinginan, pembentukan uap,
sterilisasi, melarutkan dan mencuci bahan sisa (Sudarmadji,2003).
Air dalam bahan pangan berperan sebagai
pelarut dari beberapa komponen di samping ikut sebagai bahan pereaksi,
sedangkan bentuk air dapat ditemukan sebagai air bebas dan air terikat. Air
bebas dapat dengan mudah hilang apabila terjadi penguapan atau pengeringan,
sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan cara tersebut. Sebenarnya air
dapat terikat secara fisik, yaitu ikatan menurut sistem kapiler dan air terikat
secara kimia, antara lain air kristal dan air yang terikat dalam sistem
dispersi (Purnomo,1995).
Air
di dalam bahan pangan ada dalam tiga bentuk, yaitu: (1) air bebas, (2) air
terikat lemah atau air teradsorbsi, dan (3) air terikat kuat. Pada umumnya air
bentuk pertama dan yang kedua dominan, sedangkan air terikat jumlahnya sangat
kecil.
1).
Air Bebas
Air bebas ada didalam ruang antar
sel, intergranular, pori-pori bahan, atau bahkan pada permukaan bahan. Air
bebas sering disebut juga sebagai aktivitas air atau “water activity” yang
diberi notasi Aw. Disebut aktivitas air, karena air bebas mampu membantu
aktivitas pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi pada bahan
pangan. Didalam air bebas terlarut beberapa nutrient yang dapat dimanfaatkan
oleh mikroba untuk tumbuh dan berkembang. Adanya nutrient terlarut tersebut
juga memungkinkan beberapa reaksi kimia dapat berlangsung. Oleh sebab itu,
bahan yang mempunyai kandungan atau nilai Aw tinggi pada umumnya cepat
mengalami kerusakan, baik akibat pertumbuhan mikroba pembusuk maupun akibat
terjadinya reaksi kimia tertentu, seperti oksidasi dan reaksi enzimatik. Air
bebas sangat mudah untuk dibekukan maupun diuapkan
2). Air Teradsorbsi.
Air yang terikat lemah atau air teradsorbsi terserap pada
permukaan koloid makromolekul (protein, pati, dll) bahan. Air teradsorbsi
juga terdispersi diantara koloid
tersebut dan merupakan pelarut zat-zat yang ada dalam sel. Ikatan antara air
dengan koloid merupakan ikatan hidrogen. Air teradsorbsi relatif bebas bergerak
dan relatif mudah dibekukan ataupun diuapkan.
3). Air Terikat Kuat
Air terikat kuat sering juga disebut air hidrat, karena air
tersebut membentuk hidrat dengan beberapa molekul lain dengan ikatan bersifat
ionik. Air terikat kuat jumlahnya sangat kecil dan sangat sulit diuapkan dan
dibekukan.
Air yang terdapat dalam bentuk bebas
dapat membantu terjadinya proses kerusakan bahan makanan misalnya proses
mikrobilogis, kimiawi, ensimatik, bahkan oleh aktivitas serangga perusak
(Sudarmadji,2003).
Jumlah air bebas dalam bahan pangan
yang dapat digunakan oleh mikroorganisme dinyatakan dalam besaran aktivitas air
(Aw = water activity). mikroorganisme memerlukan kecukupan air untuk
tumbuh dan berkembang biak. Seperti halnya pH, mikroba mempunyai niali Aw
minimum, maksimum dan optimum untuk tumbuh dan berkembang biak ( Ahmadi &
Estiasih,2009).
Sampai
sekarang belum diperoleh sebuah istilah yang tepat untuk air yang terdapat
dalam bahan makanan. Istilah yang umumnya dipakai hingga sekarang ini adalah “air
terikat” (bound water). Walaupun sebenarnya istilah ini kurang
tepat, karena keterikatan air dalam bahan berbeda-beda, bahkan ada yang tidak
terikat. Karena itu, istilah “air terikat” ini dianggap suatu sistem yang
mempunyai derajat keterikatan berbeda-beda dalam bahan (Winarno,1992).
Menurut derajat keterikatan air, air
terikat dapat dibagi atas empat tipe.
a. Tipe I adalah molekul air yang terikat
pada molekul-molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen yang berenergi besar.
Air tipe ini tidak dapat membeku pada proses pembekuan, tetapi sebagian air ini
dapat dihilangkan dengan cara pengeringan biasa. Air tipe ini terikat kuat dan
sering kali disebut air terikat dalam arti sebenarnya.
b. Tipe II, yaitu molekul-molekul air
membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lain, terdapat dalam mikrokapiler
dan sifatnya agak berbeda dengan air minum. Air ini lebih sukar dihilangkan dan
penghilangan air tipe II akan mengakibatkan penurunan Aw (water activity).
Jika air tipe II dihilangkan seluruhnya, kadar air bahan akan berkisar 3-7 %
dan kestabilan optimum bahan makanan akan tercapai, kecuali pada produk-produk
yang dapat mengalami oksidasi akibat adanya kandungan lemak tidak jenuh.
c. Tipe III adalah air yang secara fisik
terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan
lain-lain. Air tipe III inilah yang sering kali disebut dengan air bebas. Air
tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan
media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Apabila air tipe ini diuapkan seluruhnya,
kandungan air bahan berkisar antara 12-25 % dengan Aw (water activity) kira-kira
0,8% tergantung dari jenis bahan dan suhu.
d. Tipe IV adalah air yang tidak terikat
dalam jaringan suatu bahan atau air murni dengan sifat-sifat air biasa dan
keaktifan penuh (Winarno,1992).
B.
Kadar Air dalam Bahan Makanan
Kadar air adalah perbedaan antara
berat bahan sebelum dan sesudah dilakukan pemanasan. Setiap bahan bila
diletakkan dalam udara terbuka kadar airnya akan mencapai keseimbangan dengan
kelembaban udara disekitarnya. Kadar air ini disebut dengan kadar air seimbang.
Setiap kelembaban relatif tertentu dapat menghasilkan kadar air seimbang
tertentu pula. Dengan demikian dapat dibuat hubungan antara kadar air seimbang
dengan kelembaban relatif.
Aktivitas air dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
Aw = ERH/100
Aw = aktivitas air
ERH = kelembaban relative seimbang
Bila diketahui kurva hubungan antara
kadar air seimbang dengan kelembaban relatif pada hakikatnya dapat
menggambarkan pula hubungan antara kadar air dan aktivitas air. Kurva sering
disebut kurva Isoterm Sorpsi Lembab (ISL). Setiap bahan mempunyai ISL yang
berbeda dengan bahan lainnya. Pada kurva tersebut dapat diketahui bahwa kadar
air yang sama belum tentu memberikan Aw yang sama tergantung macam bahannya.
Pada kadar air yang tinggi belum tentu memberikan Aw yang tinggi bila bahannya
berbeda. Hal ini dikarenakan mungkin bahan yang satu disusun oleh bahan yang
dapat mengikat air sehingga air bebas relatif menjadi lebih kecil dan akibatnya
bahan jenis ini mempunyai Aw yang rendah (Wulanriky,2011).
Nilai Aw suatu bahan atau produk
pangan dinyatakan dalam skala 0 sampai 1. Nilai 0 berarti dalam makanan
tersebut tidak terdapat air bebas, sedangkan nilai 1 menunjukkan bahwa bahan
pangan tersebut hanya terdiri dari air murni. Kapang, khamir, dan bakteri
ternyata memerlukan nilai Aw yang paling tinggi untuk pertumbuhannya. Niai Aw
terendah dimana bakteri dapat hidup adalah 0,86. Bakteri-bakteri yang bersifat
halofilik atau dapat tumbuh pada kadar garam tinggi dapat hidup pada nilai Aw
yang lebih rendah yaitu 0,75. Sebagian besar makanan segar mempunyai nilai Aw =
0,99. Pada produk pangan tertentu supaya lebih awet biasa dilakukan penurunan
nilai Aw. Cara menurunkan nilai Aw antara lain dengan menambahkan suatu senyawa
yang dapat mengikat air ( Ahmadi & Estiasih,2009).
Kandungan
air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan
mikroba yang dinyatakan Aw yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh
mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Berbagai mikroorganisme mempunyai Aw
minimum agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri Aw : 0,90 ; khamir Aw :
0,80-0,90 ; kapang Aw : 0,60-0,70. Untuk memperpanjang daya tahan suatu bahan,
sebagian air dalam bahan harus dihilangkan dengan beberapa cara tergantung dari
jenis bahan. Umumnya dilakukan pengeringan, baik dengan penjemuran atau dengan
alat pengering buatan (Winarno,1992).
Semua bahan
makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda, baik itu bahan makanan
hewani maupun nabati. Air berperan sebagai pembawa zat-zat makanan dan
sisa-sisa metabolisme, sebagai media reaksi yang menstabilkan pembentukan
boiopolimer, dan sebagainya.
Bahan pangan
kita baik yang berupa buah, sayuran, daging, maupun susu, telah banyak berjasa
dalam memenuhi kebutuhan air manusia. Buah mentah yang menjadi matang selalu
bertambah kandungan airnya, misalnya calon buah apel yang hanya mengandung 10%
air akan dapat menghasilkan buah apel yang kadar airnya 80%, nenas
mempunyai kadar air 87% dan tomat 95%. Buah yang paling banyak kandungan airnya
adalah semangka dengan kadar air 97%.
Kandungan air
dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya
tahan bahan itu. Selain merupakan bagian dari suatu bahan makanan, air
merupakan pencuci yang baik bagi bahan makanan tersebut atau alat-alat yang
akan digunakan dalam pengolahannya. Sebagian besar dari perubahan-perubahan
bahan makanan terjadi dalam media air yang ditambahkan atau yang berasal dari
bahan itu sendiri.
Bila badan
manusia hidup dianalisis komposisi kimianya, maka akan diketahui bahwa
kandungan airnya rata-rata 65% atau sekitar 47 liter per orang dewasa. Setiap
hari sekitar 2,5 liter harus diganti dengan air yang baru. Diperkirakan dari
sejumlah air yang harus diganti tersebut 1,5 liter berasal dari air minum dan
sekitar 1,0 liter berasal dari bahan makanan yang dikomsumsi. Dalam keadaan
kesulitan bahan pangan dan air, manusia mungkin dapat tahan hidup tanpa makanan
selama lebih dari 2 bulan, tetapi tanpa minum akan meninggal dunia dalam waktu
kurang dari satu minggu.
Yang terdapat
pada bahan pangan berbeda-beda. Untuk menentukan kadar air pada bahan pangan
tersebut, harus dilakukan dengan uji analisa kandungan air yang dilakukan
dengan suatu metode tertentu. Bentuk fisik bahan pangan tidak dapat
dijadikan patokan untuk menentukan kandungan air bahan. Pada tabel berikut ini
dapat dilihat kandungan air beberapa jenis bahan pangan:
Jenis Bahan Pangan
|
KA (%)
|
Jenis Bahan Pangan
|
KA (%)
|
Tomat
|
94
|
Ikan Kering
|
38
|
Semangka
|
93
|
Daging Sapi
|
66
|
Kol
|
92
|
Roti
|
36
|
Nanas / Nenas
|
85
|
Buah kering
|
28
|
Kacang Hijau
|
90
|
Susu Bubuk
|
4
|
Susu Sapi
|
88
|
Tepung Terigu
|
12
|
Source: F.G.
Winarno (1977)
Seperti yang
bisa dilihat dari tabel (table) diatas, jika dilihat dari bentuk fisik,
seharusnya kadar air nenas harusnya lebih tinggi dari kol, namun pada
kenyataanya, kadar air Kol lebih tinggi dari nenas bahkan dari susu sapi yang
bentuk fisiknya adalah cair. Karena itu untuk mengetahui kandungan air suatu
bahan perlu dilakukan suatu analisa yang nantinya bukan hanya menentukan jumlah
kandungan air tetapi juga berfungsi untuk mengetahui tipe air dari bahan pangan tersebut.
C.
Penentuan Kadar Air dalam Bahan Makanan
Penentuan
kandungan air dapat dilakukan dengan beberapa cara. Hal ini tergantung pada
sifat bahannya. Pada umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan
bahan dalam oven pada suhu 105-110ÂșC selama 3 jam atau sampai didapat berat
yang konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya
air yang diuapkan. Untuk bahan-bahan yang tidak tahan panas, dilakukan
pemanasan dalam oven vakum dengan suhu yang lebih rendah. Seperti bahan bekadar
gula tinggi, minyak daging, kecap, dan lain-lain. kadang-kadang pengeringan
dilakukan tanpa pemanasan, bahan dimasukkan dalam eksikator dengan H2SO4 pekat
sebagai pengering, sehingga mencapai berat yang konstan. Untuk bahan dengan
kadar gula tinggi, kadar airnya dapat diukur dengan menggunakan refraktometer
disamping menentukan padatan terlarutnya pula. Dalam hal ini, air dan gula
dianggap sebagai komponen-komponen yang mempengaruhi indeks refraksi. Disamping
cara-cara fisik, ada pula cara-cara kimia untuk menentukan kadar air. Mc Neil
mengukur kadar air berdasarkan volume gas asetilen yang dihasilkan dari reaksi
kalsium karbida dengan bahan yang akan diperiksa. cara ini dipergunakan untuk
bahan-bahan seperti sabun, tepung, kulit, bubuk biji panili, mentega, dan sari
buah. Karl Fischer pada tahun 1935 menggunakan cara pengeringan berdasarkan
reaksi kimia air dari titrasi langsung dari bahan basah dengan larutan iodine,
sulfur, dioksida, dan piridina dalam methanol. Perubahan warna menunjukkan
titik akhir titrasi (Winarno.1992).
Kadar air dalam bahan makanan dapat
ditentukan dengan beragai cara antara lain :
1. Metode
pengeringan
2. Metode
destilasi
3. Metode
kimiawi
4. Metode
fisis
1. Penentuan Kadar Air Cara Pengeringan
Prinsipnya menguapkan air yang ada
dalam bahan dengan jalan pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai berat
konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Cara ini relatif mudah dan
murah.
Kelemahan cara ini adalah :
a. Bahan lain disamping air juga ikut
menguap dan ikut hilang bersama dengan uap air misalnya alkohol, asam asetat,
minyak atsiri dan lain-lain.
b. Dapat terjadi reaksi selama pemanasan
yang menghasilkan air atau zat mudah menguap. Contoh gula mengalami dekomposisi
atau karamelisasi, lemak mengalami oksidasi.
c. Bahan yang dapat mengikat air secara
kuat sulit melepaskan airnya meskipun sudah dipanaskan.
Untuk
mempercepat penguapan air serta menghindari terjadinya reaksi yang menyebabkan
terbentuknya air ataupun reaksi yang lain karena pemanasan. Maka dapat
dilakukan dengan suhu rendah dan tekanan vakum. Dengan demikian akan diperoleh
hasil yang lebih mencerminkan kadar air yang sebenarnya (Sudarmadji.2003).
2.
Penentuan Kadar Air Cara Destilasi
Prinsip
penentuan kadar air dengan destilasi adalah menguapkan air dengan “pembawa”
cairan kimia yang mempunyai titik didih lebih tinggi dari pada air dan tidak
dapat bercampur dengan air serta mempunyai berat jenis lebih rendah dari pada
air. Zat kimia yang dapat digunakan antara lain : toluen, xylen, benzen,
tetrakhlorethilen dan xylol. Cara penentuannya adalah dengan memberikan zat
kimia sebanyak 75-100 ml pada sampel yang diberikan mengandung air sebanyak 2-5
ml kemudian dipanaskan sampai mendidih. Uap air dan zat kimia tersebut
diembunkan dan ditampung dalam tabung penampung. Karena berat jenis air lebih
besar daripada zat kimia tersebut maka air akan berada dibagian bawah pada
tabung penampung. Bila pada tabung penampung dilengkapi skala maka banyaknya
dapat diketahui. Cara destilasi ini baik untuk menentukan kadar air dalam zat
yang kandungan airnya kecil yang sulit ditentukan dengan cara gravimetri.
Penetuan kadar air ini hanya memerlukan waktu ± 1 jam (Sudarmadji,2003).
3. Metode Kimiawi
Ada beberapa cara penentuan kadar air
dalam bahan secara kimiawi yaitu antara lain :
a. Cara Titrasi Karl Fischer (1935)
Cara ini adalah dengan menitrasi
sampel dengan larutan iodine dalam metanol. Reagen lain yang digunakan dalam
titrasi ini adalah sulfur dioksida dan piridin. Metanol dan piridin digunakan
untuk melarutkan yodin dan dan sulfur dioksida agar reaksi dengan air menjadi
lebih baik. Selain itu piridin dan methanol akan mengikat asam sulfat yang
terbentuk sehingga akhir titrasi dapat lebih jelas dan tepat. Selama masih ada
air dalam bahan, iodin akan bereaksi tetapi begitu air habis, maka iodin akan
bebas. Titrasi dihentikan pada saat timbul warna iodine bebas. Untuk
memperjelas pewarnaan maka dapat ditambahkan metilen biru dan akhir titrasi
akan memberikan warna hijau. I2 dengan mtilen biru akan berubah warnanya
menjadi hijau. Cara titrasi ini telah berhasil dipakai untuk penentuan kadar
air dalam alkohol, ester-ester, senyawa lipida, lilin, pati, tepung gula, madu,
dan bahan makanan yang dikeringkan. Cara ini banyak dipakai karena memberikan
harga yang tepat dan dikerjakan cepat. Tingkat ketelitiannya lebih kurang 0,5
mg dan dapat ditingkatkan lagi dengan sistem elektroda yaitu dapat mencapai 0,2
mg (Sudarmadji,2003).
b. Cara Kalsium Karbid
Cara ini berdasarkan reaksi antara
kalsium karbid dan air menghasilkan gas asetilin. Cara ini sangat cepat dan
tidak memerlukan alat yang rumit. Jumlah asetilin yang terbentuk dapat diukur
dengan berbagai cara.
1) Menimbang campuran bahan dan karbid
sebelum dan sesudah reaksi ini selesai. Kehilangan bobotnya merupakan berat
asetilin.
2) Mengumpulkan gas asetilin yang
terbentuk dalam ruangan tertutup dan mengukur volumenya.
Dengan volume yang diperoleh tersebut
dapat diketahui banyaknya asetilin dan kemudian dapat diketahui kadar air
bahan.
1)
Dengan
mengukur tekanan gas asetilin yang terbentuk jika reaksi dikerjakan dalam ruang
tertutup. Dengan mengetahui tekanan dan volme asetilin dapat diketahui
banyaknya dan kemudian dapat diketahui kadar air baha
2)
Dengan
menangkap gas asetilin dengan larutan tembaga sehingga dihasilkan tembaga
asetilin yang dapat ditentukan secara gravimetri atau volumetri atau secara
kolorimetri. Ketelitiannya tergantung pada pencampuran atau interaksi karbid
dengan bahan. Penentuan kadar air cara ini dapat dikerjakan sangat singkat
yaitu sekitar 10 menit (Sudarmadji,2003).
c. Cara Asetil Khlorida
Penentuan kadar air cara ini
berdasarkan reaksi asetil khlorida dan air menghasilkan asam yang dapat
dititrasi menggunakan basa. Asetil khlorida yang digunakan dilarutkan dalam
toluol dan bahan didispersikan dalam piridin.
4. Metode Fisis
Ada beberapa cara penentuan kadar air
cara secara fisis ini antara lain:
a.
Berdasarkan
tetapan dieletrikum
b.
Berdasarkan
konduktivitas listrik (daya hantar listrik) atau resistensi
c.
Berdasarkan
resonansi nuklir magnetic (NMR = Nuclear Magneti resonance) (Sudarmadji,2003).
DAFTAR
PUSTAKA
Estiasih,
T. dan Ahmadi, K. (2009). Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Purnomo,
H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya
dalam Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia. Jakarta. http://repository.ipb.ac.id.
Diakses tanggal 16 November 2013
Sudarmadji, S. 2003. Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan Gizi
UGM.
Yogyakarta.http://risnafranisa.blogspot.com/.../air-dalam-bahan-pangan. Diakses tanggal 16
November 2013
Winarno Surachmad. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah.
Bandung; Tarsito
Winarno,
F.G. (1992). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.http://www.goodreads.com/book/show/6044215-kimia-pangan-dan-gizi.
Diakses tanggal 16 November 2013
Wulanriky. 2011. Penetapan
Kadar Air dengan Metode Oven Pengering.
http://wulanrikiy.wordpress.com/Penetapan-Kadar-Air-Metode-Oven-Pengering-aa/.
Diakses tanggal 16 November 2013.
loading...
1 comment:
maksud dari air baha itu apa min? Website Gratis
Post a Comment
Terimakasih Telah Mengunjungi Blog Ini, Silahkan Berikan Komentar dan Saran Anda